Wednesday 12 July 2023

, ,

Sering Sulit Mengontrol Emosi Negatif depan Anak? Simak Tips dari Carla Naumburg

Artikel ini ditulis berdasarkan buku yang saya baca beberapa tahun yang lalu, dan baru selesai dibaca beberapa bulan yang lalu. Ya, semenjak jadi ibu, saya menjadi slow reader, tapi gak apa, lumayan. Okay, buku ini berjudul How to Stop Losing Your Sh*t with Your Kids, karya Carla Naumburg, Phd, seorang penulis, pekerja sosial, dan juga seorang ibu. Alasan saya ingin mereview buku ini karena saya yakin, sedikit banyaknya, buku ini dapat membantu memahami apa yang parents rasakan dan alami, khususnya saya. Menariknya lagi, karena Carla juga seorang ibu, bukunya terasa sangat relate dengan apa yang saya alami sehari-hari, dikemas dengan bahasa yang lucu dan menarik, membacanya seperti membaca diary seorang ibu yang sayang tapi juga gemas dengan anak-anaknya.

Mengontrol Emosi

Dari mulai memasuki usia 3 tahun, Arsy sudah memasuk perilaku yang "challenging", saya gak akan bilang perilaku nakal, bandel, sulit diatur, menyebalkan, atau yang lainnya, because she's a toddler! Masa iya mau berharap anak usia 3 tahun diam, baca buku, kontemplasi, dan yang lainnya (meski sesekali Arsy juga sering melakukan ini hehe). Di hari-hari tenang, mudah saja untuk mengelola emosi, level kesabaran masih tinggi, sesekali turun, tapi istirahat sejenakpun dapat kembali normal. Tapi memang, saya merasa hari-hari tenang adalah hari yang langka. Sangat jarang rasanya saya melewati satu hari tanpa berteriak gemas "Arsyyyyyy!!"

How To Stop Losing Your Shit with Your Kids Carla Naumburg

Sebelum memberikan tips untuk mengelola emosi negatif di sekitar anak, Carla berulang kali menuliskan bahwa parenting itu sulit, dan hampir semua orang tua  merasakan hal yang sama. Perasaan-perasaan menyesal yang datang setelah memarahi anak, atau sekedar perasaan lelah setiap menemani anak bermain, memang hal yang wajar dirasakan orang tua. Jika dibiarkan berlarut-larut, rasa sesal ini bisa jadi berkembang menjadi perasaan gagal menjadi orang tua. Bukan membenarkan perilaku orang tua yang memarahi anaknya, tapi Carla memahami bahwa emosi-emosi itu adalah hal yang manusiawi. Namun, diwajibkan bagi kita untuk selalu belajar menjadi orang tua yang lebih baik setiap harinya, dengan menambah ilmu dan wawasan soal mengelola emosi ini.

Kenapa kita harus belajar untuk mengelola amarah pada anak?
1. Marah tidak baik untuk orang tua, karena dapat memicu stres. Juga, stres dapat menjadi pemicu orang tua mudah marah, begitu seterusnya, rasanya pantas disebut lingkaran setan.
2. Marah tidak baik untuk anak, karena akan mempengaruhi perkembangan otak dan badannya, dan sangat rentan untuk terkena efek negatif lainnya
Yang harus dicatat di benak kita, para orang tua adalah, the calmer we can get (and stay), the calmer our kids will be as well. Semakin tenang orang tua, anakpun akan semakin tenang. Ingat bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung, mereka sangat cepat belajar.

Tentang Tombol Marah/ Tombol Merah/ Tombol Godzilla

Dalam bukunya, Carla Naumburg juga membahas soal ini. Ia mengilustrasikan bahwa tiap orang tua memiliki semacam "tombol marah" (kalau saya sering bilangnya tombol Godzilla) di badannya, dan anak-anak akan selalu tertarik untuk menekan tombol tersebut. Maka, ia menuliskan hal-hal yang dapat membantu para orang tua, bukan untuk menghilangkan tombol marah itu (well, we're still a human!), tapi untuk membuat tombolnya menjadi kecil, tidak menyala, sehingga tidak mudah 'ditekan' oleh anak. Seringkali, tombol ini lebih besar dan menyala pada ibu dibanding ayah, karena ibu lebih rentan terkena stres akibat kelelahan dan kekurangan waktu untuk diri sendiri. Ada beberapa poin yang dibahas oleh Carla, yang harus jadi perhatian khusus para orang tua, dalam rangka mengelola emosinya sehingga tidak mudah berubah menjadi Godzilla.

Carla Naumburg

1. Kelelahan

Banyak orang tua yang mengabaikan soal energi yang ada pada dirinya. Padahal, tidur cukup adalah suatu keharusan. Banyak orang tua yang menahan kantuk demi bisa me time (iya, ini saya juga!), dan lebih memilih minum kopi demi tetap terjaga, padahal badan sudah merengek untuk minta diistirahatkan. Kelelahan dan kebanyakan kafein ini akan memudahkan orang tua terkena stres, apalagi ketika dihadapkan oleh emosi anak yang tidak terduga. Dengan keadaan seperti ini, "tombol marah" pada ibu akan terlihat mencolok, berukuran besar, dan menarik untuk ditekan oleh anak.

2. Terlalu Banyak Input

Masih ada orang yang beranggapan jadi ibu rumah tangga adalah hal yang mudah, karena hanya mengelola tempat yang berukuran ya... gak besar-besar amat. Padahal ibu rumah tangga itu ya bukan asisten rumah tangga. Bukan soal menyapu, mengepel, menyetika, dan yang lainnya. Tapi, justru, kebanyakan kesibukan ada di dalam kepala yang kecil ini. Mengurus anak adalah tanggung jawab yang sangat luar biasa, bukan hanya tentang memberinya makan, memandikannya, dan menemaninya bermain, tapi juga tentang belajar untuk selalu memberikan yang terbaik, meski gak sempurna. Ketakutan akan pengasuhan yang salah pada anak juga membuat pikiran tidak tenang. Maka, gak sedikit orang tua, yang berusaha keras untuk menjadi lebih baik dengan mengikuti setiap seminar parenting di manapun, demi memberikan yang terbaik. 

Niatnya memang baik, tapi menurut Carla, terlalu banyak informasi yang didapat dari berbagai ahli, bisa menjadi buruk ketika kita tidak bisa menyaringnya. Bayangkan, setiap ahli punya metode yang berbeda, punya pengalaman yang berbeda, pendapat yang berbeda, value hidup yang berbeda, kalau kita gak pintar-pintar menyaring, jutru kita yang akan kewalahan dan keblinger dengan semua informasi tersebut. Ada ahli yang mrekomendasikan pemberian sleep training pada anak, ada juga yang tidak. Ada yang mengajarkan anak untuk selalu disiplin, ada juga yang memberikan kebebasan berbatas. Tidak semua pendapat dari ahli harus kita implementasikan. Harus paham betul, value hidup kita apa, anak kita seperti apa, apa yang ia butuhkan, tidak semuanya harus kita ikuti. Karena pada akhirnya, kita adalah orang tua dari anak kita, maka kita yang paling tau apa yang mereka butuhkan.

3. Bukan Tidak Boleh Marah

Sepanjang ini saya menulis, bukan untuk melarang orang tua untuk marah. Marah adalah salah satu emosi manusia yang sangat diperlukan. Tapi, apa yang Carla sampaikan adalah tentang pengelolaannya. Bagaimana agar kita selalu hadir depan anak tanpa membawa "tombol merah besar" di dada. Karena jika tidak, tombol merah itu akan memancing anak, akan dengan mudah anak temukan dan tekan, yang akan membuat Mama berubah menjadi Godzilla. Selalu ingat, bahwa ketika kita lebih tenang, cukup istirahat, cukup nutrisi, tombol merah tersebut akan mengecil dan redup, akan sulit ditekan anak. Jadi ingat ya, yang dipelajari di sini adalah tentang menjaga kondisi kita untuk tetap fit, tetap waras, tetap tenang, supaya anak tidak mudah untuk menekan tombol Godzilla kita.
Baca Juga : 7 Rekomendasi Tempat Makan Kids Friendly di Bandung

4. Semakin Sering Marah, Semakin Sering Terulang

Pernah gak sih parents, seharian rasanya marah-maraaaaah terus. Saya sering banget, kalau mood di pagi hari sudah jelek, sudah kesal, sudah marah-marah, maka akan begitu seterusnya dalam sehari. Ada penjelasannya memang, karena ketika tombol merah kita sudah sering ditekan, dia akan lebih sering merah dan akan ditekan lagi di masa depan. 

5. Pemicu Bisa Bermacam-Macam
 
Pemicu stres tiap orang tua itu berbeda-beda, maka ini pentingnya mengenal diri sendiri. Kita harus tau mana hal yang mudah kita toleransi, mana yang mudah membuat kita marah. Ada parents yang santai saja kalau rumah berantakan, tapi ada juga parents OCD yang stres luar biasa ketika anaknya membuat kebun binatang menggunakan peralatan rumah tangga. Mengenal triggers yang kita miliki, akan memudahkan kita membuat antisipasinya. Contohnya, masih dengan kasus yang sama, aktivitas anak memang akan selalu seperti itu, membuat rumah berantakan, tidak mungkin untuk menyuruh mereka tidak melakukan apapun, maka kita bisa komunikasikan pada pasangan untuk membagi tugas, atau bisa juga, membuat ruangan khusus bermain untuk anak, sehingga ruang kontrolnya lebih sempit, dan orang tua tidak terlalu kewalahan.

Momen-momen penting dalam hidup juga kadang bisa menjadi pemicu stres, misalnya ketika ternyata seorang ibu diberi rezeki untuk mengandung lagi. Meskipun itu adalah suatu berkah, kadang hormon bisa membuat suasana hati menjadi tidak stabil. Atau misalnya ketika mendapatkan promosi kerja, hal tersebut juga dapat membuat suatu kondisi yang berbeda dan perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan kondisi baru tersebut. 

6. Awareness, Acceptance, Action, and BURPs

Poin terakhir yang akan saya ulas adalah inti dari tulisan ini. Bagaimana untuk mengelola emosi parents, bagaimana untuk menjaga tombol Godzilla inti untuk tidak membesar dan menyala. Yang pertama adalah Aware, kesadaran. Seperti yang tadi bilang, setiap orang punya triggers yang berbeda. Misal, parents tau bahwa anak akan melakukan sesuatu yang parents gak suka, kembali ke contoh, soal rumah yang berantakan. Ketika anak akan menumpahkan mainannya, parents harus sudah menyadari kalau hal tersebut akan membuat parents marah. Antisipasi tersebut akan membuat parents lebih siap dan lebih mudah masuk ke tahap selanjutnya, yaitu Acceptance.

Acceptance atau soal menerima, adalah tahap kedua. Ketika kita menyadari hal tersebut adalah salah satu pemicu marah kita, kita menerima bahwa kita akan marah karena hal ini. Melawan perasaan ingin marah ini, bukan hal yang tepat, karena sistem saraf kita gak peduli bahwa ini waktu yang tidak tepat untuk marah, dan memaksa diri untuk tidak marah malah akan membuat parents menjadi semakin ingin marah. 
Baca Juga : Drama Trimester 4, Drama Berusaha Menjadi Ibu Sempurna
Action, ini soal aksi yang akan dilakukan. Apakah akan tetap marah? Untuk beberapa hal, bisa saja kita mengatasinya dengan menghilangkan hal-hal yang dapat memicu kita marah. Namun, dengan kasus di atas, tidak mungkin kita melarang anak untuk tidak bermain sama sekali, supaya rumah tetap rapi. Maka, parents harus siap untuk menghadapinya. Yang biasa saya lakukan saat saya menghadapi hal-hal yang memicu saya adalah menjauh dari anak untuk sesaat. Inhale-exhale, peluk diri sendiri, usap dada, pokoknya melakukan hal-hal yang membuat saya lebih tenang. Ketika perasaan sudah membaik, saya akan kembali lagi ke Arsy dengan harapan tetap bisa tenang. Seringkali sukses, tapi tidak jarang kecolongan juga, jika pemicu stressnya luar biasa besar. Kalau sudah seperti itu, istigfar, lalu minta maaf ke anak, berdoa sama Allah semoga momen buruk tadi tidak terekam di memorinya. Afterall, we're only a human.

Poin selanjutnya, adalah BURPs, ini adalah singkatan dari Button Reduction Practice, langkah terakhir. Menerapkan awareness, acceptance, dan action di setiap hari secara rutin, lama-lama akan membentuk habbit tersendiri. Setiap kita akan menghadapi situasi yang memicu amarah kita, kita akan mawas diri, sudah punya semacam peringatan di kepala, bahwa kita akan marah, dan kita harus mempersiapkan diri untuk itu. Saya sendiri, masih berlatih, kadang (atau mungkin sering, ya) lepas kontrol berteriak kesal, namun BURPs ini adalah latihan panjang, terus menerus selama saya jadi orang tua, dan ini sangat membantu di keseharian saya. Sepakat kan kalau marah-marah itu menguras energi yang cukup banyak? Sangat melelahkan dan stressful, gak cuma buat kita, tapi juga bagi anak. Semangat, parents!

26 comments:

  1. Sebisa mungkin saya harus bisa mengontrol amarah apabila berhadapan dengan anak. banyakin sabar....

    ReplyDelete
  2. Buku yang bagus. Tentunya kaya inspiratif.

    ReplyDelete
  3. PR banget deh untuk yang satu ini 🙈. Padahal sudah diinget-inget supaya tidak marah. Eh malah meledak. Kalau sudah gitu, nyesel yang ada. Jadi kasian sama anak 🤭

    ReplyDelete
  4. Saya sangat setuju seperti yang dibilang di atas, pada akhirnya kita hanyalah seorang manusia. Hehe. Btw ini buku dalam bahasa inggris ya? Terima kasih sudah menuliskan rangkumannya. Ini mungkin akan sangat membantu. Kalau baca sendiri mungkin butuh waktu yang agak lama nih. Hehe.

    ReplyDelete
  5. Setju sih. Belajar mengontrol dan mengelola emosi memang harus dilakukan sejak dini. Jangan sampai setelah cukup umur, justru menjadi orang yang gampang emosian

    ReplyDelete
  6. Wahhh kemungkinan orang tuaku juga seperti itu yaa, tapi memang kalau sudah kelewatan suka marah, tapi marahnya lebih ke memberitahu kalau ini itu tidak boleh dilakukan. Jadi saya yang diberitahu seperti itu jadi mereminder diri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.

    ReplyDelete
  7. terima kasih tips-tipsnya, Kak. bermanfaat banget untuk ibu yang masih sering lepas kendali seperti saya. saya sednag belajar juga tentang mindful parenting. Melakukan tindakan apapun dengan sadar sesadar-sadarnya efektif banget untuk mencegah lepas kendali.

    ReplyDelete
  8. sebagai orang tua terkadang masalah emosi memang sulit dikontrol ya. Apalagi kalau sudah digabung dengan masalah pekerjaan atau masalah diluar rumah. Tentu perlu control dan cara terbaik untuk meredam semuanya

    ReplyDelete
  9. Huft saya kena nih pas baca ini. Sepertinya tombol godzila saya sering banget nyala deh. Sampai kadang-kadang lupa gimana matiinnya. Bener sih, makin sering nyala, makin susah mati hiks.

    Terimakasih ya sudah memberikan tips yang berguna banget pastinya. Akan saya coba praktikkan. Semoga bisa membuat saya lebih mengendalikan diri lagi ke depannya

    ReplyDelete
  10. Huhu.. Aku merasa tertampar nih. Bukunya Carla Naumburg bener² relate. Apalagi poin 1 & 4, susah sekali dihilqngin, memang kudu sabar sih ya, jangan sampe tombol Godzilla itu kepencet, hiks!

    ReplyDelete
  11. Sebuah ulasan yang sangat menarik, mengontrol emosi adalah hal yang amat penting. Bukan hanya bagi orang tua menurutku, bagi kehidupan sehari-hari juga sangat penting.

    Bener kata Kak Anis, kalo udah emosi dari pagi, sisa hari rasanya bakal berat banget buat dijalanin, padahal, ya gitu-gitu aja sebenernya... Semuanya akan terjalani jauh lebih baik dengan kepala yang dingin dan hati yang lega

    ReplyDelete
  12. Saya sebagai Sugar Dady, sering banget marah-marah, terlebih saat banyak kerjaan yang deadline. tapi saat membaca artikel ini, marah saya memang perlu dimanag juga ya. makasih ya Nis sarannya.

    ReplyDelete
  13. Kalau marah ke toddler sama anak remaja beda ..tapi cara kontrolnya nih yang tetap menantang. Kedua anak saya, kuliah dan SMP, jadi ada banyak beda pendapat yang bikin Mamak berasa emosi Huhuhu, marah-marah memang menguras energi yang cukup banyak, sangat melelahkan dan stressful, gak cuma buat kita, tapi juga bagi anak. Maka, baca buku seperti ini bisa jadi reminder dan inspirasi bagaimana cara mengontrol emosi

    ReplyDelete
  14. Kelelahan memang bikin kita gampang emosi. Padahal kalau mengeluarkan emosi suka bikin tambah lelah. Dulu, saya seringkali merasa feeling guilty kalau udah marah ke anak. Tetapi, kemudian mulai berpikir kalau marah sebetulnya gak apa-apa asalkan terkontrol. Jadi semakin belajar untuk mengontrol emosi.

    ReplyDelete
  15. Benar sekali, faktor internal orang tua sering sekali menyulut kemarahan. Sekadar lelah dapat merubah nada menjadi tinggi dan bisa berdampak kepada anak. Mengenal diri sendiri dan mengomunikasikan perasaan kepada anak dapat dilatih secara konsisten.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah dapat ilmu baru lagi soal menjadi orang tua.

    Insya Allah akan Teddy terapkan Kak, karena bantu-bantu ibu di rumah juga ngasuk anak tetangga usia 3 tahun. Lumayan juga tombol Godzila saya kadang.

    Dari sini bisa lebih bijak mengambil keputusan terhadap anak-anak. Terima Kasih Kak

    ReplyDelete
  17. BIsa juga coba pake cara tahan nafas 7 detik, lalu hempaskan kak kalau emosi lagi di ubun-ubun. Saya pernah coba, lumayan bisa mengurangi

    ReplyDelete
  18. Betuuul. Marah harusnya dikelola, bukan ditiadakan sama sekali. Sama seperti emosi lain, misalnya sedih dan kecewa.

    ReplyDelete
  19. Marah ini adalah salah satu emosi, hal yang wajar jadi tidak mungkin bisa dihilangkan, tapi kita harus bisa mengendalikannya sih, kayaknya mesti banget aku baca buku ini karena sekarang aja sama pasangan suka tidak kekontrol dan aku gak ingin hal ini nanti kejadian ke anak kami

    ReplyDelete
  20. Keren nih tipsnya. Terutama dari Ibu-Ibu nih ehehe, karena sering ngadapin anak. Lihatlah tingkah laku anak sebagai ketidakbersalahan, kaya anak ngajak main di saat sibuk kerja atau ngeblog. Itu bukan berarti anak mau ganggu pekerjaan kita, tapi dia mau waktu kita untuk bermain bersama.

    Nah, yang bersalah di sini, berarti orang tua. Karena kurang mampu memberikan cukup waktu untuk anak bermain atau memberikan pengertian kuat agar anak bisa mengerti keadaan-keadaan tertentu.

    ReplyDelete
  21. saya kalau mau marah ke anak-anak, biasanya bilang dulu ke mereka, bahwa mamaknya mau marah nih. Mereka biasanya tertawa dan itu cukup menularkan energinya ke saya dan membuat urat menjadi lebih kendur.

    ReplyDelete
  22. Aku lg butuh banget nih bacaan2 tentang parenting ini.. makasihh ulasan bukunya sangat2 membantu buat aku yang masih belajar menghadapi ponakan krucil2ku🤣🤣

    ReplyDelete
  23. Anak adalah sponse terbaik, dia akan menyerap apa saja yang ia lihat dengar dengan amat sangat baik. Jadi mengendalikan diri saat sedang kesal atau marah adalah harus. Karena kemarahan layaknya api, dapat menghanguskan semuanya, apalagi menghanguskan hati anak-anak yang masih suci.

    ReplyDelete
  24. Bener bgt, marah2 terlalu sering & parah shg menjadi godzilla itu punya efek domino utk kita sbg ortu & si anak. Kudu atur emosi sebaik mungkin.

    ReplyDelete
  25. Sebelumnya, orang tua juga seorang anak dari seorang ibu. Kadang cara didik mereka yang keras atau emosian karena dulunya mungkin juga diperlakukan begitu sama orang tuanya. Tapi, itu bukan sesuatu yang bisa dibenarkan.

    Review buku "How to Stop Losing Your Sh*t with Your Kids" karya Carla Naumburg sangat menarik. Supaya orang yang katanya dewasa ini bisa lebih bijak dalam menghadapi anak-anak.

    ReplyDelete
  26. Katanya aku butuh baca buku ini deh. Kesabaranku setipis tisu dibagi 10 soalnya 🥲

    ReplyDelete