Tuesday 22 November 2022

, ,

Review Skincare : Erha 10 Home Peeling 1 dan Erha 11 Home Peeling 2, Eksfoliasi Mudah di Rumah

Produk eksfoliasi kulit yang bagus, sudah banyak bertebaran di luar sana. Saya sendiri, merasa kalau eksfoliasi itu salah satu treatment yang penting. Mengangkat sel kulit mati akan membuat produk skincare yang kita pakai sehari-hari, lebih menyerap dan bekerja secara optimal. Ada 2 jenis produk eksfoliasi kulit, yang physical dan juga yang chemical. Dari namanya, kita bisa langsung paham ya, physical exfoliator adalah produk eksfoliasi yang menggunakan butiran scrub untuk mengangkat sel kulit mati, sedangkan chemical exfoliator adalah produk eksfoliasi yang menggunakan zat aktif yang dapat mengangkat sel kulit mati, contohnya AHA.

Saya sendiri, sebetulnya merasa kalau keduanya punya plus minus. Physical exfoliator seringkali tidak bersahabat dengan kulit sensitif, beberapa produk punya scrub yang terlalu besar sehingga meningkatkan resiko iritasi akibat gesekan scrub dengan kulit. Namun, physical exfoliator menurut saya paling ampuh dalam mengatasi komedo-komedo, terutama komedo di bagian hidung, bisa langsung bikin hidung mulus seketika. Sedangkan untuk chemical exfoliator, meskipun painless, saya ngerasa kurang nendang di kulit, kulit gak otomatis kerasa mulus dan bersih seperti yang biasa dirasakan saat memakai physical exfoliator.

Uniknya, produk yang akan saya review kali ini, terdiri dari 2 jenis exfoliator tersebut, dan keduanya dipakai bersamaan, saling melengkapi. Produk keluaran Erha ini sengaja dibuat untuk kita yang ingin melakukan treatment ekfoliasi di rumah, makanya namanya adalah Erha Home Peeling. Seperti yang tadi saya sebutkan, Erha Home Peeling ini terdiri dari 2, yaitu Erha 10 dan Erha 11, saya gak tau 10 dan 11 ini kode apa, tapi memang pemakaiannya dilakukan berurutan, pertama Erha 10 lalu dilanjutkan dengan Erha 11.

Erha Home Peeling

Basically, Erha 10 Home Peeling ini adalah chemical exfoliator. Ia mengandung glycolic acid sebanyak 5% dan lactic acid sebesar 4,5%. Teksturnya krim dengan konsistensi yang padat, seperti mentega. Sedangkan Erha 11 Home Peeling ini adalah keduanya, ya chemical, juga physical. Ia juga mengandung glycolic acid sebesar 10%. Meskipun begitu, Erha 11 Home Peeling memiliki tekstur yang berbeda karena mengandung scrub halus di dalamnya.

Erha Home Peeling

Cara pemakaiannya juga mudah, bahkan bisa dilakukan sambil rebahan atau ngedrakor. Yang pertama, cuci wajah menggunakan sabun hingga bersih, lalu oleskan Erha 10 Home Peeling 1 ke seluruh permukaan kulit. Setelahnya, diamkan selama 30 menit. Sesudah 30 menit, lanjut dengan mengoleskan Erha 11 Home Peeling secukupnya ke seluruh wajah, dan pijat dengan gerakan memutar selama kurang lebih 1 menit. Setelah itu, bilas dan keringkan. Sangat mudah kan?

2 kombo ini ampuh banget buat bersihin kotoran di muka saya. Pasca treatment emang kulit kelihatan lebih merah, namanya juga abis exfoliasi ya, cuma kulit jauh lebih halus dan kerasa lebih ringan (mungkin ini semacam sugesti karena kotoran seperti sudah terangkat, ya). Kalau besok-besoknya disambung dengan pemakaian skincare secara rutin, bakal ngerasa kalau skincare kalian jadi lebih ngefek (jelas lah ya, kan lapisan kulit matinya mulai terkikis!). Sejauh ini, 2 produk ini merupakan exfoliator favorit saya. Dibandingkan produk-produk eksfoliasi sebelumnya, yang bikin kulit cekat-cekit gak nyaman, 2 produk ini jauh lebih bersahabat di kulit saya. 

Erha Home Peeling

Baca Juga : Review Skincare : Somethinc AHA BHA PHA Peeling Solution

Sejauh ini, sampai produknya sudah habis, saya gak nemu kesan negatif selain ukurannya yang mungil. Masing-masing hanya berukuran 10 gr dengan harga berkisar 150.000 untuk bundling kedua produk (saat promo). Tapi, karena dipakainya juga paling sering seminggu sekali (tergantung waktu senggang), lumayan awet. Oh ya, karena produk-produk yang saya ulas ini menggunakan AHA yang memungkinkan membuat sensitifitas kulit terhadap matahari jadi meningkat, maka sangat wajib hukumnya menggunakan sunscreen dengan tepat. Kalau bisa, ya hindari aktivitas outdoor. Kalau saya, biasanya kalau emang mau ada aktivitas di luar ruangan, sehari sebelumnya saya gak akan melakukan treatment ini.  

Diclaimer: Artikel ini ditulis atas pengalaman pribadi penulis, bukan sponsor maupun endorsement.


Continue reading Review Skincare : Erha 10 Home Peeling 1 dan Erha 11 Home Peeling 2, Eksfoliasi Mudah di Rumah

Thursday 17 November 2022

,

REVIEW Hotel Mercure Convention Center Ancol


Cuti 2 hari kemarin, dimanfaatkan oleh Pak Su untuk liburan santai di daerah Jakarta. Destinasi awalnya sebetulnya bukan ke sana, banyak wishlist yang belum kesampaian. Tapi bagaimanapun juga, banyak yang harus dipertimbangkan untuk berpergian ke tempat-tempat yang kami harapkan tersebut, dan kala itu, kami memutuskan untuk menunda wishlist dan memilih untuk melakukan wisata Ancol, yang dirasa gak banyak menguras waktu dan energi. Destinasi utamanya adalah Sea World. Sudah pasti karena mempertimbangkan nona manis (dan juga saya) yang senang sekali lihat ikan. Terakhir kali kami pergi ke Jakarta Aquarium, koleksi ikannya lebih terbatas meskipun dekorasi dan kenyamanan tempat tetap Jakarta Aquarium juaranya

Liburan kali ini kami menginap di Hotel Mercure Convention Center Ancol. Memang sengaja mencari hotel di dalam Ancol supaya gak repot keluar masuknya, hemat waktu juga. Sebetulnya ada pilihan lain yaitu Putri Duyung Resort dan Discoery Ancol. Untuk Putri Duyung, kamarnya sudah penuh, sedangkan Discovery Ancol baru saja dipakai suami menginap pada saat acara kantor bulan kemarin, jadi kami mencari pengalaman baru di Hotel Mercure Convention Center Ancol. Lokasinya dekat dengan Pantai Indah, salah satu pantai kecil yang ada di Ancol.

Kami check in pada Hari Minggu, tanggal 7 November 2022. Sambil menunggu Pak Su check in dan mengurus administrasi lainnya, saya dan nona manis duduk di lobby sambil melihat om-om badut yang sedang membuat balon. Ternyata mereka memang membagi-bagikan balon gratis untuk anak-anak di hotel. Om badutnya baik dan ramah, si nona minta 2 balon dengan bentuk berbeda dan langsung dibikinkan oleh mereka. Thanks, Om Badut!

Seselesainya check in, saya langsung menuju kamar 301. Saat itu kami memesan kamar tipe suite. Semenjak punya anak, kami seringkali memesan kamar yang ada sofanya, buat kasur cadangan karena seringkali pak su terseret-seret di kasur karena kehebohan saya dan nona saat tidur. Untuk tipe suite, harga sewanya sekitar 1,7 juta per malam, tergantung di mana bookingnya. Sudah pasti, booking di marketplace dengan di hotelnya langsung akan berbeda. 

Review Hotel Mercure Ancol

Kamar ini memiliki 2 toilet. 1 toilet di kamar tidur dan 1 lagi di dekat pintu masuk. Toilet yang dekat pintu masuk tampaknya hanya untuk tamu, karena dekat dengan ruang tengah. Ruang tengahnya cukup luas. Selain ada soa panjang, ada kursi dekat balkon yang juga bisa dipakai untuk bersantai. Ada greeting card dari pihak hotel dan juga welcome snack di toples-toples mungil. 

Sebetulnya, gak banyak yang bisa saya ceritain tentang kamarnya, karena semuanya biasa aja. Bahkan ada beberapa komplain yang saya utarakan pada pihak managemen, seperti nihilnya gula tropicana slim dan sisir (yang menurut saya, itu semua sudah menjadi basic tools/item di sebuah hotel, apalagi ini hotel bintang 4). Tapi kalau kalian penasaran, saya sempat bikin postingannya berupa video yang bisa dilihat di sini Video Review Hotel Mercure Ancol. Khusus di blog ini, saya lebih tertarik untuk mereview fasilitas di area hotel yang bisa kita nikmati saat menginap di Hotel Mercure Ancol.

1. Playground

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

Playground Hotel Mercure Ancol cukup luas dengan berbagai permainan. Ada mba yang menjaganya jadi cukup aman. Ada kolam bola, kuda-kudaan, rumah-rumahan, dan kalau mau mewarnai juga bisa. Ini bisa jadi opsi buat hiburan anak kalau lagi suntuk di kamar.

2. Taman / Lapangan

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

Hotel Mercure Ancol punya lapangan yang luas. Kalau punya anak yang 'kinestetik' banget, pasti bahagia datang ke sini. Bisa main bola, karena sudah tersedia gawang mini yang bisa dipakai. Atau sekedar berlarian kesana kemari pun menyenangkan, apalagi dekorasi taman dan lapangnya juga menarik, apalagi di malam hari, lampu yang melingkari pohon-pohon, membuatnya terlihat cantik.

3. Kolam Renang

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

Ada 2 kolam renang yang bisa kita nikmati di Hotel Mercure Ancol, yang ketinggiannya sekitar 140 cm, dengan yang hanya 70 cm an untuk anak-anak. Ada 2 seluncuran yang tersedia, namun hanya 1 yang boleh dipakai, mungkin karena belum di maintenance selama covid, saya kurang tau.

4. Pantai Indah Ancol

Lewat pintu belakang lobby Hotel Mercure Ancol, melewati lapangan dan kolam renang, kalian bisa langsung jalan ke Pantai Indah Ancol. Saya pikir, pantainya adalah pantai dengan pasir putih yang persis terletak di belakang hotel, seperti yang saya lihat dari atas ketika saya naik Gondola. Ternyata, pantai pasir putih itu bukan untuk umum, melainkan khusus untuk club jetski di sana. Sedih. Akhirnya, karena si non ngebet banget ke pantai, kita mainnya di pantai indah ancol. Karena gak begitu luas, jadi terasa sekali penuhnya. Saya sengaja cari spot di dekat bebatuan, yang agak kosong. Airnya tentu saja, kurang lebih mirip dengan kali di sungai yang penuh dengan sampah dan berwarna coklat milo. Tentu si non tidak berenang, hanya bermain pasirpun sudah cukup menyenangkan baginya.

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

5 Restoran Sunda Kelapa

Review Hotel Mercure Ancol

Review Hotel Mercure Ancol

Restoran hotel ini cukup luas, ada area indoor dan outdoornya yang menghadap ke lapang. Buat saya, spot outdoornya menaik, apalagi kalau kalian dinner. Lampu-lampu di tamannya meriah. Saya gak nyoba makan di sana, selain sarapan ya. Kalau untuk sarapan sih, standar aja, cuma memang pilihannya gak terlalu banyak untuk hotel bintang 4. 


Jadi itu, hal-hal yang bisa dinikmati ketika kamu menginap di Hotel Mercure Ancol. Hotel ini cocok untuk kalian yang ingin liburan di Ancol untuk beberapa waktu, dan tidak ingin membuang waktu keluar masuk Ancol. Hal positif tentang hotel ini adalah, meskipun ada beberapa hal yang bikin saya gak sreg, seperti beberapa fasilitas dan tools hotel yang kurang lengkap, semuanya termaafkan ketika saya membuat komplain ke managemennya dan langsung ditanggapi dengan cepat. Semoga kelak saya main ke Ancol, saya menginap di sana, semua hal yang saya kritisi tadi sudah berubah lebih baik lagi.
Continue reading REVIEW Hotel Mercure Convention Center Ancol

Wednesday 16 November 2022

, , , , ,

Review Skincare: Skintific 4D Hyaluronic Acid Barrier Essence Toner, Terfavorit di Tahun Ini!

Toner adalah salah satu step skincare yang wajib banget buat saya! Kulit saya ini seringkali kering, tapi kalau udah kepanasan, langsung otomatis jadi pabrik minyak. Kalau saya gak pakai toner, kulit saya makin kering, dan kalau kepanasan malah bikin kulit keliatan makin kusam juga. Makanya, saya senang banget koleksi toner. Oh ya, toner yang saya maksud di sini bukan toner yang teksturnya plek plekan cair, yang pengaplikasiannya menggunakan kapas. Toner yang saya maksud lebih seperti essence, gak sekental serum, tapi juga gak seringan air. Ngerti kan ya? 

Untuk toner yang akan saya review di sini, bukan toner yang sulit didapat. Bahkan, sepertinya banyak yang menjadikan toner ini salah satu favorit skincarenya, termasuk saya. Skintific 4D Hyaluronic Acid Barrier Essence Toner. Ada cerita dibalik penggunaan Skintific 4D Hyaluronic Acid Barrier Essence Toner ini. Mei tahun ini, berarti 6 bulan yang lalu, saya beli sepaket skincare Skintific yang khusus untuk kulit kusam, direkomendasikanlah 3 produk oleh admin Skintific, kalau gak salah namanya paket glowing skin, isinya Skintific 4D Hyaluronic Acid Barrier Essence Toner, Skintific 10% Niacinamide Brightening Serum, dan Skintific 5x Ceramide Barrier Moisture Gel. Di antara 3 produk yang ada dalam paket glowing skin tersebut, produk ini adalah yang paling murah, tapi juga ternyata yang paling awet, dan paling berjasa di kulit saya.

Review Toner Skintific

Toner Skintific ini sebenarnya isinya gak banyak-banyak amat, standar toner, 100 ml, tapi sampai 6 bulanpun, produknya masih tersisa 1 cm lagi kalau dilihat dari luar. Menurut saya ini awet sekali, padahal saya hampir selalu memakainya tiap hari, pagi dan malam, setelah selesai cuci muka. 

Produknya dikemas dalam box karton tebal. Botol yang digunakan adalah jenis botol plastik yang tebal, dengan tutup model ulir. Saya juga lebih suka tutup model ulir di banding model flip top yang secara ajaib suka tiba-tiba ngebuka kalau dibawa traveling. 

Review Toner Skintific

Hal pertama yang saya suka dari produk ini jelas kandungannya. Maksud dari 4D hyaluronic acid di sini adalah kombinasi dari 4 tipe hyaluronic acid yang memperbaiki, memberikan dan mengunci kelembapan secara intensif dan instan. 1 jenis hyaluronic acid aja rasanya sudah cukup lembap, produk ini memiliki 4 sekaligus, surely kulit saya auto lembap. Belum lagi kandungan lainnya, yaitu ceramide, centella, dan provitamin B5. Centella, juga adalah salah satu kandungan favorit saya. Dia punya manfaat yang baik untuk menenangkan kulit, dan membuat kulit minim iritasi. Sedangkan ceramide, yang sedang hype ini, punya tugas melindungi skin barrier. Dengan banyaknya manfaat yang diberikan, 90.000 menurut saya murah sih. Apalagi jika mengingat produknya yang awet dan gak cepat habis.

Untuk pengaplikasiannya, saya gak butuh banyak produk. Cukup 2 tetes, saya gosokkan di telapak tangan, lalu aplikasikan ke wajah, dan 1 tetes lagi untuk di leher. Teksturnya cair, namun sedikit kental. Lalu saat dibaurkan ke seluruh bagian wajah, terasa licin. Maksud licin di sini bukan dalam artian negatif ya, lebih seperti spreadable, gitu. Butuh waktu 1 menit untuk menyerap. Makanya, saya bilang teksturnya berbeda dengan toner cair pada umumnya. Kalau toner yang bentuknya cair, akan menyerap dalam beberapa detik saja. Produk ini, meskipun membutuhkan waktu untuk menyerap, namun ketika sudah menyerap, dia menyerap dengan sempurna. Lembap, namun tidak lengket.

Review Toner Skintific

Hal lain yang menjadi nilai plus adalah aromanya. Gak ada aroma wewangian apapun itu yang menyegakkan hidung. Saya agak-agak mudah tertanggu dengan skincare yang ada aromanya, meskipun aromanya wangi. 

Review Toner Skintific

Baca Juga : Review Skintific Eye Cream Massager

Review Skintific ini seharusnya menyertakan foto before after. Karena saya gak punya foto 6 bulan yang lalu dalam keadaan bare face, saya hanya bisa menyertakan foto before after dalam sehari, hanya untuk menunjukkan efek melembapkan yang diberikan oleh produk ini. Tapi, meskipun tanpa bukti, saya bisa merasa kulit saya jauh lebih normal dari biasanya, gak ada minyak berlebih yang membuat kulit saya berjerawat, seperti yang biasanya terjadi. Kulit jauh lebih halus dan enak dipegang. Jadi, sebagai penutup, untuk skincare seharga 90.000 yang awet hingga 6 bulan, memiliki kandungan yang punya banyak manfaat untuk kulit wajah, toner Skintific ini masuk ke dalam list skincare favorit saya tahun ini!

Continue reading Review Skincare: Skintific 4D Hyaluronic Acid Barrier Essence Toner, Terfavorit di Tahun Ini!

Bahagia dengan Hidup Biasa-Biasa Saja Ala Alain de Botton

Baru saja kemarin, perbincangan saya dengan Markonah, berkutat seputar perbedaan generasi kami dan gen Z. Saya bilang kalau kayaknya seru deh lahir sebagai gen Z, semua serba difasilitasi. Dan... sepertinya, mudah bagi mereka untuk menghasilkan uang di usia muda. Tapi, kemudian, timbul pertanyaan baru, apakah semuanya sejalan dengan perasaan bahagia yang mereka rasakan? Markonah sempat bercerita juga mengenai dosennya yang mengeluhkan murid-muridnya yang rasanya kok sulit sekali menggapai toefl 500, padahal untuk mencari ilmu di zaman sekarang itu sangatlah mudah, gak ada alasan untuk gak pintar, selain kamu memang malas. Akhirnya, obrolan ditutup dengan pernyataan bahwa di zaman yang serba mudah ini, justru ekspektasi semakin meningkat, sehingga rasanya sulit untuk menjadi biasa-biasa saja. 

Saya jadi teringat Alain de Botton, seorang filsuf modern, penulis, juga pembicara. Beliau pernah bilang kalau manusia sekarang rasanya sulit sekali untuk merasa bahagia. Bukan secara tiba-tiba semuanya terjadi. Menurutnya, ada 3 masalah utama yang menjadi penyebab semua itu terjadi, yaitu:

1. Hidup dalam Masyarakat yang Angkuh

Mencapai kebahagiaan dalam hidup seharusnya adalah suatu yang subjektif, tidak perlu dipengaruhi oleh penilaian orang lain. Tapi kini, kebanyakan dari kita memikirkan kehidupan yang sempurna agar dipandang baik oleh masyarakat. Alain de Botton menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena kebanyakan masyarakat sekarang menghakimi kita dalam sekejap, tanpa tau apa yang terjadi sebenarnya di hidup kita. Sekalinya kita tidak dapat memenuhi ekspektasi mereka, ada kemungkinan kita menjadi bahan omongan atau mungkin dikucilkan.

Poin ini juga didukung dengan maraknya penggunaan social media sebagai ajang pamer prestasi. Sebetulnya, kurang tepat sih kalau dibilang pamer, karena pamer atau tidak kan tergantung niatnya, saya sendiri gak bisa menilai niatnya. Kalaupun niatnya memang untuk pamer, sebenarnya gak masalah juga, karena itu hak yang punya akun kok. Permasalahannya adalah ketika kita menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang ditampilkan di social media, padahal kita tau persis berapa banyak filter yang tersedia di aplikasi-aplikasi zaman sekarang.

2. Kurangnya Kasih Sayang

Penyebab lainnya yang menyebabkan sulitnya orang untuk berbahagia menurut Alain de Botton adalah kurangnya kasih sayang dari orang terdekat. Sewajarnya, keluarga sebagai support system terbesar, menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan seseorang. Tapi, kini yang terjadi sebaliknya. Banyak orang tua yang mengharapkan kebahagiaan dalam bentuk materi. Semakin banyak uang yang dimiliki, semakin besar pengakuan dan kasih sayang yang diberikan oleh mereka. Yang tadinya keluarga seharusnya menjadi tempat bersandar, kini malah menjadi pemberi beban.

Baca Juga : Ngobrol Serius : Tentang Fetisisme

Kebahagiaan bukan lagi tentang memberikan perhatian, bukan lagi tentang menghabiskan waktu bersama. Ya, mungkin menghabiskan waktu bersama, tapi di hotel mewah. Hehe. 

3. Meritokrasi

Meritokrasi sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Ideologi ini membuat semua orang termotivasi untuk menjadi sukses. Deretan buku laris ditempati oleh buku-buku self help. Ngerinya, buku-buku ini bagai pedang bermata dua. Contohlah sebuah buku yang berisi mengenai perjalanan si penulis untuk menjadi sukses, bahwa semua orang punya kesempatan untuk sukses, bahwa faktor pembentuk kesuksesan hanyalah tentang diri sendiri, seberapa keras kita berusaha. Orang yang berhasil itu merupakan hasil usaha keras, sementara orang gagal karena kurang berusaha untuk mencapainya. Padahal, kita semua tau, bahwa kesuksesan gak serta merta terjadi hanya karena faktor internal (diri sendiri), masih banyak hal lain yang berkontribusi dalam membentuk kesuksesan seseorang. 

Itulah 3 poin yang sering diungkit oleh Alain de Botton sebagai penyebab orang-orang sulit untuk merasa bahagia. Rasanya, orang-orang menolak untuk hidup biasa-biasa saja, padahal hidup biasa-biasa saja bukan suatu hal yang buruk. Bahkan faktanya, 99% dari kita memang akan menjalani hidup biasa saja, sedangkan 1% yang lain akan menjalani hidup yang luar biasa, seperti Bill Gates, Elon Musk, dan lainnya. Jangan salah! Memiliki hidup yang biasa saja itu baik, dan memiliki ambisi untuk menggapai hidup yang luar biasa juga baik. Yang menjadi keliru adalah ketika kita berambisi hanya demi dihargai dan dianggap hebat oleh orang lain.

Wealth consists not in having great possessions, but in having few wants.―Epictetus

Saya pernah merasa ingin menjadi yang 1% (sekarang juga masih sih hehe). Tapi, jika harus menukarnya dengan kedamaian dan ketenangan batin, gak dulu deh. Hehe. Lagipula, hidup biasa saja yang dikatakan oleh Alain de Botton, bukan hidup yang menyedihkan. Ada 2 cara hidup biasa-biasa saja ala Alain de Button. Yang pertama, ia menekankan arti kata cukup. Menurutnya, kita akan lebih banyak menghargai hidup ketika kita paham arti kata cukup. Yang kedua, yang saya bahas tadi, berambisilah atas kemauan sendiri, jangan hanya karena orang lain. Jangan sampai keliru, mengejar ambisi hanya untuk memuaskan orang lain. Tapi juga, jangan sampai mengartikan hidup biasa saja dengan hidup malas tanpa ambisi sama sekali ya! Itu jelas berbeda.

Continue reading Bahagia dengan Hidup Biasa-Biasa Saja Ala Alain de Botton

Tuesday 15 November 2022

,

Review Buku : Almond - Sohn Won Pyung

Seorang manusia lahir bagaikan selembar kertas putih, kosong, tanpa isi mental bawaan. Sedikit demi sedikit, terisi oleh pena pengalaman dan persepsinya terhadap dunia di luar dirinya. Begitulah teori tabularasa. Tapi, apa yang terjadi jika seorang manusia terlahir bagaikan bongkahan batu kali? Sesering apapun pena membuat coretan di atasnya, tidak juga terlihat coretannya. Ini adalah premis utama novel ini, Almond.

Review Novel ALmond - Sohn Won Pyung

Novel ini dibuka dengan pengakuan seorang anak laki-laki saat menyaksikan suatu peristiwa yang brutal. Terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria dengan menggunakan pisau. Satu orang terluka, enam orang lainnya meninggal dunia. Korban terakhir adalah pria itu sendiri. Ia membunuh dirinya, menikam dadanya sedalam-dalamnya dengan pisau. Anak laki-laki itu hanya menyaksikan kejadian yang terjadi di depan matanya, tanpa melakukan apa-apa, tanpa ekspresi. Anak laki-laki itu adalah Yoonjae.

Itu bukan kali pertamanya Yoonjae menyaksikan tragedi yang mengerikan. Sepanjang hidupnya, ia berkali-kali ada di situasi seperti itu. Saat ia masih berusia 6 tahun, ia pulang dari TK seorang diri, berjalan kaki. Tanpa tau arah, ia terus berjalan mengikuti arah perginya burung-burung. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia tersesat, ia sudah berada di sebuah gang yang di kelilingi oleh rumah-rumah tua yang tampak sudah mau roboh. Tidak jauh dari situ, ia mendengar suara teriakan kecil yang ternyata berasal dari sebuah belokan di gang. Ia berjalan mendekati belokan itu dan menyaksikan seorang anak -usia SMP- yang terbaring di atas tanah di kelilingi anak-anak lainnya yang mengelilinginya sambil menendang dan meludahinya. Seluruh tubuh anak itu berdarah, badannya terlempar ke sana ke mari seperti boneka. Yoonjae keluar dari belokan dan menemukan sebuah toko kecil. Ia masuk ke dalamnya dan memanggil si penjaga toko yang ternyata sedang asyik menonton TV. Panggilan pertama tidak membuatnya mengalihkan pandangan dari tayangan TV.

"Ajeossi." panggilnya untuk kedua kali.

"Iya," jawab Ajeossi  sambil membalikkan wajahnya.

"Ada orang yang pingsan di depan gang," 

Si penjaga toko cuek dengan berkata, "Oh begitu?"

"Mungkin saja dia sudah mati." Yoonjae berkata sambil memegang karamel yang dipajang rapi di atas meja toko.

"Oh ya?

"Iya."

Barulah pandangan Ajeossi tertuju pada Yoonjae

"Kau ini, kenapa gaya bicaramu begitu tenang? Kau tidak boleh membohongiku!"

Yoonjae berpikir keras mencari cara untuk meyakinkan Ajeossi, tapi ia tidak bisa menemukan kosa kata lainnya. 

"Mungkin dia sudah mati." Yoonjae hanya bisa mengatakan itu terus menerus.

Akhirnya, Ajeossi melapor pada polisi sambil tetap menonton TV. Anak yang dipukuli, menghembuskan napas terakhirnya. Masalahnya, anak itu tidak lain adalah anak laki-laki Ajeossi tadi. 

Di kantor polisi, Ajeossi meraung-raung bersimbah air mata, duduk bersimpuh dengan badan gemetar, memukul lantai dengan tinjunya, lalu bangun dan berteriak-teriak pada Yoonjae sambil mengacungkan tangannya,

"Andai saja kau bicara sedikit lebih serius, semuanya pasti tidak akan terlambat!"

Begitulah Yoonjae. Raut wajahnya tidak pernah berubah, bahkan ketika ia menyaksikan pembunuhan di depan matanya sekalipun. Ibunya mulai khawatir sehingga membawanya ke rumah sakit untuk mencari tau apa yang terjadi dengan anaknya. Diagnosa dokter menyatakan bahwa Yoonjae terkena penyakit Alexitimia, ketidakmampuan dalam mengungkapkan dan merasakan emosi. Penyebabnya adalah amigdala -atau yang biasa disebut almond- dalam kepalanya tidak berkembang dengan baik, sehingga jaringan komunikasi antara sistem limbik otak dan lobus frontal tidak lancar. Yoonjae tidak bisa merasakan senang, sakit, sedih, ataupun takut. Karenanya, orang-orang sering menyebutnya 'monster'.

Ia hidup dengan ibu dan neneknya di sebuah toko buku bekas. Ibunya berjualan buku bekas demi membiayai Yoonjae, karena suaminya sudah meninggal sejak dulu. Meskipun dianggap aneh oleh teman-temannya, Yoonjae tidak pernah membuat masalah di sekolah. Ibunya yang selalu khawatir akan keadaannya, selalu mengajari Yoonjae dalam bersikap dan merespon orang lain. Ibunya menuliskan beberapa kalimat di kertas berwarna dan menempelkannya di papan besar, tulisan-tulisan seperti ini:

Kalau mobil mendekat -> Harus menghindar atau berlari

Kalau ada orang yang mendekat > Bergeser ke salah satu sisi agar tidak bertubrukan

Kalau orang tertawa -> Ikut tersenyum

Di bagian paling bawah, ada catatannya "Dalam hal raut wajah, kau akan merasa nyaman bila mengikuti raut wajah semiripmungkin dengan yang dilakukan lawan bicaramu"

Ketika teman-temannya sibuk menghafal tabel perkalian, Yoonjae masih menghafal norma dan mencocokkan kalimat-kalimat yang saling terkait, dan ibunya akan memberikan ujian atas hal tersebut. Hari-harinya dilewati seperti itu, terus menerus, hingga tibalah satu hari. Hari itu, malam Natal, dingin bersalju, hari ulang tahun Yoonjae yang ke18. 

Ia bersama ibu dan neneknya, pergi untuk makan malam bersama, seperti yang biasa mereka lakukan selama ini dalam rangka merayakan ulang tahun Yoonjae. Itu adalah awal dari tragedi yang diceritakan di awal. Selesai makan, ibu dan nenek bergegas keluar restoran, ibu tertawa bahagia menangkap salju-salju yang turun dengan derasnya, sedangkan Yoonjae masih di dalam restoran, meminta permen pada pelayan restoran. Barisan paduan suara bertopi Santa dan jubah merah, ramai menyanyikan senandung Natal. Suasana sungguh meriah. Namun tiba-tiba, teriakan demi teriakan muncul. Awalnya sulit mendengarnya karena tertutupi oleh suara paduan suara. Seketika, suara paduan suara mulau kacau dan tertutup oleh suara teriakan orang-orang.

Seorang pria melompat dari balik pintu kaca dan menikamkan sesuatu. Orang itu adalah pria yang berpakaian formal dan berkeliaran sebelum kami memasuki restoran. Tidak sesuai dengan pakaiannya, dia memegang pisau dan palu di kedua tangannya. Pria itu melambaikan kedua tangannya sambil cekikikan, seolah-olah akan menusuk orang yang dilihatnya. Pria itu mendekati barisan paduan suara dan beberapa orang terlihat bergegas mengeluarkan ponselnya. 

Pria itu menoleh dan pandangannya berhenti ke arah ibu dan nenek. Dia kemudian berbalik arah, Nenek langsung menggenggam dan menarik ibu. Setelah itu, terjadilah tragedi itu. Pria itu memukulkan palu ke kepala ibu Yoonjae. Tiga kali.

Dalam sekejap, ibu Yoonjae sudah berbaring lemah bersimbah darah. Yoonjae mendorong pintu restoran, hendak pergi keluar, namun neneknya berteriak dan menghalangi pintu dengan badannya, supaya Yoonjae tetap aman. Pria itu masih memegang pisau, melambai-lambaikannya. Yoonjae mengetuk-ngetuk pintu kaca, tapi nenek tetap menahannya sambil menggelengkan kepalanya, mencegah Yoonjae untuk keluar. Tiba-tiba pria itu sudah ada di belakang nenek, dan Yoonjae hanya mendengar satu kali teriakan neneknya sebelum akhirnya melihat cipratan darah yang memenuhi pintu kaca restoran. Dengan raut wajah tanpa ekspresi, tanpa merasakan sakit, sedih, takut, ataupun marah, Yoonjae menyaksikan neneknya yang meninggal dan ibunya yang koma.

Semenjak kejadian itu, Yoonjae tinggal sendiri di rumah, di toko buku bekas itu. Toko buku berada di lantai 1, sedangkan lantai 2 merupakan toko roti. Pemilik toko roti beserta keseluruhan gedung itu bernama Professor Shim, dulunya seorang dokter. Karena mengenal ibunya Yoonjae cukup lama, Prof Shim menjadi cukup akrab dengannya dan paham juga akan kondisi yang dialami oleh Yoonjae. Maka selama ibu Yoonjae terbaring di rumah sakit, Prof Shim merasa harus membantu dan menjaga Yoonjae.

Suatu hari, ketika Yoonjae sedang menjenguk ibunya, ia berpapasan dengan seorang pria di lift. Pria paruh baya yang terlihat murung. Namun, begitu melihat Yoonjae, ekspresinya berubah. Beberapa hari kemudian, pria itu yang ternyata bernama Yoon Kwonho, mendatangi toko buku bekas dan meminta bantuan Yoonjae. Pada Yoonjae, ia meminta untuk berpura-pura menjadi anaknya di depan istrinya. Pasalnya, semenjak Pak Yoon kehilangan anaknya 13 tahun yang lalu, kesehatan istrinya menurun, hingga akhirnya kritis dan terbaring lemah di rumah sakit. Beberapa hari yang lalu, ada telepon yang menyatakan anaknya sudah ditemukan, namun dalam kondisi yang berbeda. Pak Yoon meminta Yoonjae untuk berpura-pura menjadi anaknya yang hilang di depan istrinya. Yoonjaepun mengiyakan, ia ingat pesan nenek 'lebih baik membantu, asal tidak membahayakan'.

Setelah pertemuan itu, beberapa hari kemudian istri Pak Yoon meninggal dengan damai. Yoonjae hadir dalam upacara pemakaman istri Pak Yoon. Setelahnya, ketika hendak keluar ruangan, Yoonjae menyadari semua orang menutup mulutnya dengan serempak sambil melihat ke satu arah. Di situlah anak itu berdiri. Gon, namanya. Nama aslinya adalah Lee So, anak kandung Pak Yoon yang sudah menghilang selama 13 tahun. Tubuhnya kurus, pendek, seperti anak-anak pengidap busung lapar. Kulitnya hitam, alis tebal, pandangannya membuat semua orang terpaku, seperti binatang buas yang ingin menerkam. Sebetulnya, itu adalah kali kedua Yoonjae bertemu dengan Gon. Gon adalah murid baru di sekolahnya. Hanya dalam 30 menit, informasi tentang Gon sudah menyebar ke seluruh sekolah, "Dia anak berandal. Mungkin dia sudah pernah mencoba semuanya, kecuali membunuh".

Di akhir acara pemakaman, Gon duduk di depan Yoonjae sambil menghabiskan dua mangkuk yukgaejang.

"Kau, kan? Anak yang berpura-pura menjadi diriku?

Aku muak melihat tingkahmu. Yah, walau semua ini bisa hiburan untukku."

Nah. Konflik utamanya ada di sini, saat Gon muncul. Gon yang benci dengan Yoonjae, melakukan apapun untuk menyakiti Yoonjae. Bukannya merasa puas dan hebat, Gon semakin murka. Karena sekeras apapun ia memukul Yoonjae, meskipun wajah Yoonjae sudah babak belur tak karuan, Yoonjae tetap tenang, tidak takut, tidak merasa sakit. Ini adalah definisi monster ketemu monster, meskipun monster-monster ini berbeda satu sama lain.

Saya suka dengan alur ceritanya. Mengalir begitu saja, gak terlalu berat. Ada banyak kritik tentang ending yang terlalu "dongeng disney". Tapi, buat saya penyuka happy ending sih, gak masalah. Kritik dari saya mungkin masalah terjemahan. Ada sekalimat atau 2 kalimat yang saya ingat betul, saya bingung memikirkan artinya. Mungkin karena novel ini banyak membahas soal emosi, saya lumayan paham bagaimana sulitnya menerjemahkan emosi dalam kata-kata, supaya punya makna yang sama dengan bahasa aslinya. Keseluruhan, saya jadi paham kenapa member BTS baca buku ini. Cerita tentang anak yang tumpul emosi, tapi justru novel ini memuat banyak emosi di dalamnya. Selamat membaca!

"Memahami perasaan yang belum kauketahui itu tidak akan selamanya baik. Perasaan itu adalah hal yang menyebalkan. Dunia ini bisa terlihat berbeda dengan apa yang kauketahui. Semua hal-hal kecil yang mengelilingimu bisa menjadi senjata tajam untukmu. Wajah tanpa ekspresi atau omongan-omongan tajam bisa datang menghampirimu. Coba perhatikan batu kerikil di tepi jalan. Dia tidak merasa terluka karena dia sendiri tidak tahu sedang ditendang oleh orang-orang. Namun, kira-kira bagaimana 'perasaan' batu kerikil jika 'tahu' bahwa setiap hari dia selalu ditendang, diinjak, berguling-guling hingga pecah sebanyak ratusan kali." (Prof Shim)

Continue reading Review Buku : Almond - Sohn Won Pyung

Tuesday 8 November 2022

, , ,

Review Buku : Gadis Minimarket (Convenience Store Woman) by Sayaka Murata

Buku kedelapan di tahun ini yang saya baca hingga tamat, Gadis Minimarket. Banyaknya orang yang memasukkan buku ini ke dalam list buku favorit mereka menjadi alasan mengapa saya ikut-ikutan ingin baca juga. Maklum, kadang-kadang juga saya FOMO. Buku setebal 160 halaman ini  punya rating yang lumayan bagus di goodreads, banyak pembaca yang juga meninggalkan review positif mengenai isi ceritanya yang gak biasa. Tadinya, kalau hanya menilai dari sampulnya saja, saya menduga ini novel tentang gadis yang bekerja di minimarket (? duh, tentu aja dong, Nis!) Maksudnya, saya gak berpikir ada ide lain di dalamnya selain gadis normal yang bekerja paruh waktu di minimarket. Tapi justru, di sini saya keliru, karena Keiko bukan gadis biasa.

Review Sinopsis Novel Gadis Minimarket

Sinopsis : 

Dunia menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu 'normal' itu seperti apa. Namun, di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai 'pegawai minimarket'. Kini Keiko terancam dipisahkan dari dunia minimarket yang dicintainya selama ini.

Sejak kecil, Keiko memang berbeda dengan anak-anak seusianya. Teman-temannya menganggap ia aneh, orang tuanya merasa ia perlu disembuhkan supaya menjadi 'normal'. Keiko sendiri, tidak paham akan konsep 'normal' yang sesungguhnya. Ia kerap kali bingung atas reaksi orang-orang terhadap tingkahnya. Misalnya, saat ia di taman kanak-kanak, ada seekor burung mati di taman. Burung yang kecil, cantik, berwarna biru, dan sepertinya peliharaan seseorang. Burung itu tergeletak dengan leher patah dan mata terpejam, sementara anak-anak lain berkerumun menangisinya. Melihat burung yang mati tersebut, Keiko mengambilnya dan berjalan ke arah ibunya. Ibunya berkata lembut sambil mengusap kepala Keiko, "Ada apa Keiko? Duh,burung kecil yang malang. Kasihan sekali.Ayo kita kuburkan!"

Keiko menjawab, "Ayo kita makan dia! Ayah suka yakitori (sate ayam), jadi nanti malam kita makan ini saja!"

Ibunya kaget mendengarnya, para wanita di samping Ibunya pun sontak menganga, terkejut. Melihat ekspresi mereka, Keiko nyaris tertawa, menurutnya itu lucu. Pandangan Ibunya mengarah pada telapak tangan Keiko, ke arah burung kecil itu, Keiko langsung berujar, "Kurang ya? Seharusnya lebih banyak lagi?", sambil melirik ke arah burung-burung pipit yang sedang berjalan beriringan di dekatnya.

Ibu Keiko berteriak dan menyuruh agar burung itu segera dikuburkan. Keiko tidak paham. Kenapa orang lain menangis, kenapa burung itu harus dikubur, kenapa burung itu tidak dimakan saja, padahal ia sekeluarga sangat suka makan ayam. Meski pada akhirnya Keiko menguburkan burung itu bersama ibunya, ia tetap tidak mengerti. Apalagi melihat orang-orang yang menangis sesenggukan karena iba pada burung kecil itu, tapi mereka memetik dan membunuh bunga-bunga yang ada di sekitar tempat itu. "Lihat, Keiko. Menyedihkan, bukan? Kasihan sekali burung itu.", Ibu berulang kali berbisik berusaha meyakinkan Keiko. Tapi Keiko, sedikitpun, ia tidak merasa sedih.

Peristiwa seperti itu sering terjadi. Pernah juga suatu kali saat Keiko masuk SD, ada keributan di sekolahnya, 2 anak laki-laki yang berkelahi di jam olahraga. "Panggil guru! Hentikan mereka!", teriak anak-anak lain. Keiko mendengar teriakan-teriakan itu dan berpikir mereka harus dihentikan. Maka, ia membuka kotak peralatan yang ada di sebelahnya, ia raih sekop dan berlari menuju anak laki-laki yang sedang berkelahi itu, kemudian ia pukul kepala salah seorang di antara mereka hingga jatuh. Ia baru saja akan memukul anak laki-laki satunya lagi, tapi orang-orang menyuruhnya berhenti. Anak-anak perempuan berteriak dan menangis, guru yang datang terpaku melihat kondisi mengerikan itu. 

"Mereka minta perkelahian itu dihentikan, jadi kuhentikan dengan cara yang paling cepat.", Keiko menjelaskan.

Peristiwa lainnya, seorang guru muda sedang marah di kelasnya, sambil memukul-mukul meja guru dengan buku absen, dan murid-murid mulai menangis meminya maaf. "Sensei, maaf! Hentikan, Sensei!" Guru itu tak juga berhenti meski teman-teman Keiko sudah mengiba meminta guru itu berhenti marah dan memukul-mukul meja. Akhirnya, Keiko mendekati guru tersebut, dengan penuh semangat, ia tarik rok dan celananya agar dia diam. Ia terperanjat, mulai menangis, dan akhirnya terdiam. Ketika diminta penjelasan oleh gurunya, Keiko berujar bahwa ia pernah melihat di TV, seorang perempuan dewasa terdiam ketika ditelanjangi. 

Lagi dan lagi, orang tuanya dipanggil ke sekolah. Ibunya kecewa dan putus asa, namun tetap menyayangi Keiko. Keiko sendiri, merasa tidak enak telah membuat Ibu dan Ayah kecewa dan selalu meminta maaf pada orang lain, meskipun ia sendiri tidak paham, kenapa mereka kecewa? Oleh karenanya, Kekiko memutuskan untuk sebisa mungkin tidak bicara saat di luar rumah. Orang-orang dewasa mulai lega melihatnya yang tidak bicara banyak dan berhenti mengambil tindakan sendiri, Namun selama SMA, itu menjadi masalah karena Keiko menjadi terlalu pendiam. 

Padahal, bagi Keiko, diam adalah cara terbaik, seni hidup yang paling rasional untuk menjalani hidup.

Sampai akhirnya ia mulai kuliah. Suatu hari ia melihat bangunan kosong yang akan dibangun menjadi minimarket. Di kaca beningnya tertempel sebuah poster "SEGERA DIBUKA Smile Mart Stasiun Hiiromachi".  Keiko yang tertarik untuk bekerja paruh, mencatat nomor telepon yang ada di poster itu. Keesokan harinya, ia menelepon dan diwawancarai. Wawancaranya sangat mudah, ia pun diterima menjadi pegawai paruh waktu di minimarket tersebut.

Kehidupan Keiko di minimarket inilah yang menarik. Tumbuh dengan kebingungan atas pengharapan orang-orang di sekitarnya, akhirnya teratasi ketika ia menjadi pegawai minimarket. Berbeda dengan menjadi bagian dari masyarakat, menjadi bagian dari minimarket sangatlah mudah, ada panduan untuk segalanya. Bagaimana ia harus menyapa, membungkuk, bagaimana ia harus menata produk, semuanya ada pedomannya. Meskipun di luar ia seringkali tidak memenuhi pengharapan masyarakat, namun di minimarket Ia adalah seorang pegawai yang hebat.

Keiko mahir meniru ekspresi dan gaya berbicara orang lain. Bertahun-tahun bekerja di minimarket, membuat Keiko merasa bahwa minimarket adalah bagian dari dirinya. Keiko yang berusia 30 tahun adalah hasil ia meniru orang lain, karena ia betul-betul tidak tahu bagaimana semestinya ia berperilaku di masyarakat. Gaya bicaranya, gaya pakaiannya, semuanya mencontoh dari rekan kerjanya di minimarket, supaya terlihat 'normal' di masyarakat. 

Kenapa saya selalu menuliskan normal dalam tanda petik? Ini yang menarik, karena sejatinya, saya sendiri juga gak bisa mendefinisikan apa itu normal. Definisi normal dan abnormal tak sejalan dengan definisi benar dan salah. Mungkin kita bisa bilang norma-norma sosial banyak membentuk kita untuk berperilaku sama seperti masyarakat lain, sehingga orang lain yang melakukan kebalikannya adalah orang-orang abnormal? Tapi, Keiko tidak bisa melihat itu semua. Banyak kebingungan yang dirasakan oleh Keiko perihal bagaimana orang-orang berperan sebagai bagian dari masyarakat. Ia mulai kebingungan ketika di usianya yang 30 tahun, teman-temannya mulai mempertanyakan soal hidupnya. Kebanyakan dari temannya sudah menikah, punya anak, atau memiliki pekerjaan yang mapan. Hanya Keiko yang masih bertahan dengan pekerjaan part timenya di supermarket. Keiko -atas saran adiknya- selalu menjawab bahwa alasan ia masih bekerja part time adalah karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan baginya untuk bekerja full time. Jawaban tersebut malah menimbulkan banyak keheranan karena bekerja di minimarket di mana ia harus berdiri dalam waktu yang lama, bukanlah pekerjaan yang lazim dikerjakan oleh orang sakit, bukan?

Untuk membuat dirinya terlihat 'normal', ia pun memutuskan untuk tinggal bersama seorang laki-laki bernama Shiraha. Ia mendengar bahwa masyarakat 'normalnya' menjalin hubungan dengan lawan jenis. Keiko sama sekali tak berpikir begitu, ia tak pernah berpacaran atau bahkan membayangkan dirinya berpacaran. Selama ini, ia hanya memfokuskan dirinya sebagai pegawai minimarket, memberikan seluruh perhatiannya di sana. Tapi pada akhirnya, ia berpura-pura menjalin hubungan dengan Shiraha, hanya supaya terlihat baik-baik saja. Betul saja, semua orang di sekelilingnya ikut berbahagia dengan berita Keiko yang tinggal bersama dengan Shiraha. Shiraha sendiri, sebetulnya adalah seorang laki-laki yang juga bekerja di minimarket tempat Keiko. Namun, karena kerjanya tidak becus dan ia mangkir berhari-hari, akhirnya ia dikeluarkan dari minimarket tersebut. 

Shiraha, yang hidupnya tak jelas, tidak punya tempat tinggal, banyak terlilit hutang, dan sering mencela Keiko yang aneh dan perawan tua, menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan, "dibuang oleh masyarakat". Maka dari itu, Keiko melakukan penawaran untuk Shiraha tinggal di unit apartemen kecil yang disewanya. Shiraha pada akhirnya menyetujuinya. Awalnya sempat ada penolakan, tapi karena ia melihat banyak keuntungan dari penawaran tersebut, akhirnya dia sepakat. 

Hubungan Keiko dan Shiraha betul-betul membuat saya gerah, apalagi dengan karakter Shiraha. Bagi saya, bertemu laki-laki seperti dia layaknya mimpi buruk. Dia kerap kali memaki orang-orang, bermalas-malasan, senang menganggur, dan berharap dinikahi perempuan kaya raya yang bersedia memberinya modal yang besar. 

“Itulah kenapa kusebut masyarakat sekarang disfungsional. Mereka bicara manis soal keragaman gaya hidup, tapi pada akhirnya sejak Zaman Jomon semuanya tetap sama. Angka kelahiran menurun, masyarakat kembali ke Zaman Jomon dengan cepat, dan hidup menjadi lebih dari sekadar tak nyaman. Masyarakat telah mencapai taraf di mana eksistensi mereka yang tak berguna bagi desa akan dicela.” (Shiraha)

Pada intinya, konflik utama pada novel ini hanya berpusat pada 1 persoalan saja. Tentang kritik terhadap masyarakat modern, khususnya di Asia. Diskriminasi atas pilihan-pilihan hidup yang berbeda, sepertinya gak hanya terjadi di Jepang, di Indonesia pun sangat sering ditemukan. Tidak menikah di usia muda, merencanakan tidak memiliki anak, disebut-sebut sebagai hidup yang tidak normal, hanya karena berbeda dengan kebanyakan orang. Membaca novel ini seperti sedang berdiskusi panjang soal penilaian sosial. Sedikit banyak, pemikiran Keiko ini mengingatkan saya dengan orang-orang penghuni rumah sakit Villete yang ada di buku Veronika Memutuskan Mati, terutama pada poin yang membahas soal normal dan abnormal. 

Yang paling bikin muak adalah Shiraha. Saya berharap ada momen Keiko menendang laki-laki tidak berguna itu. Bisa-bisanya, dia banyak menuntut pada Keiko, mencela unit apartemennya, meminta uang, meminta makan (sambil mencela makanannya), numpang tidur (sambil mencela kamar tidurnya), dan berkeluh kesah seharian tanpa menyadari bahwa ia adalah pusat segala masalah di hidupnya. Satu hal yang dikerjakannya sungguh-sungguh adalah mencarikan Keiko pekerjaan baru, menyuruhnya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, bukan hanya pekerjaan paruh waktu. Supaya apa? supaya Shiraha bisa menikah dengan Keiko dan menumpang hidup dengannya. 

“Aku tak tahu lagi dengan standar apa aku hidup. Sebelumnya, tubuhku milik minimarket sekalipun aku sedang tidak bekerja. Aku tidur, menjaga kondisi tubuhku tetap fit, dan makan makanan yang bernutrisi agar bisa bekerja dengan kondisi sehat.” (Keiko)

Novel ini tidak seperti novel remaja pada umumnya. Isu tentang disfungsi sosial dikemas dengan cerita yang menarik. Menyelami perasaan Keiko, seharusnya membuat kita lebih paham bahwa setiap orang punya hak untuk menentukan hidupnya masing-masing. Tidak perlu mendiskriminasi pilihan seseorang hanya karena berbeda dengan yang kita jalani. 

Continue reading Review Buku : Gadis Minimarket (Convenience Store Woman) by Sayaka Murata