Sinopsis :
Dunia menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu 'normal' itu seperti apa. Namun, di minimarket, Keiko dilahirkan dengan identitas baru sebagai 'pegawai minimarket'. Kini Keiko terancam dipisahkan dari dunia minimarket yang dicintainya selama ini.
Sejak kecil, Keiko memang berbeda dengan anak-anak seusianya. Teman-temannya menganggap ia aneh, orang tuanya merasa ia perlu disembuhkan supaya menjadi 'normal'. Keiko sendiri, tidak paham akan konsep 'normal' yang sesungguhnya. Ia kerap kali bingung atas reaksi orang-orang terhadap tingkahnya. Misalnya, saat ia di taman kanak-kanak, ada seekor burung mati di taman. Burung yang kecil, cantik, berwarna biru, dan sepertinya peliharaan seseorang. Burung itu tergeletak dengan leher patah dan mata terpejam, sementara anak-anak lain berkerumun menangisinya. Melihat burung yang mati tersebut, Keiko mengambilnya dan berjalan ke arah ibunya. Ibunya berkata lembut sambil mengusap kepala Keiko, "Ada apa Keiko? Duh,burung kecil yang malang. Kasihan sekali.Ayo kita kuburkan!"
Keiko menjawab, "Ayo kita makan dia! Ayah suka yakitori (sate ayam), jadi nanti malam kita makan ini saja!"
Ibunya kaget mendengarnya, para wanita di samping Ibunya pun sontak menganga, terkejut. Melihat ekspresi mereka, Keiko nyaris tertawa, menurutnya itu lucu. Pandangan Ibunya mengarah pada telapak tangan Keiko, ke arah burung kecil itu, Keiko langsung berujar, "Kurang ya? Seharusnya lebih banyak lagi?", sambil melirik ke arah burung-burung pipit yang sedang berjalan beriringan di dekatnya.
Ibu Keiko berteriak dan menyuruh agar burung itu segera dikuburkan. Keiko tidak paham. Kenapa orang lain menangis, kenapa burung itu harus dikubur, kenapa burung itu tidak dimakan saja, padahal ia sekeluarga sangat suka makan ayam. Meski pada akhirnya Keiko menguburkan burung itu bersama ibunya, ia tetap tidak mengerti. Apalagi melihat orang-orang yang menangis sesenggukan karena iba pada burung kecil itu, tapi mereka memetik dan membunuh bunga-bunga yang ada di sekitar tempat itu. "Lihat, Keiko. Menyedihkan, bukan? Kasihan sekali burung itu.", Ibu berulang kali berbisik berusaha meyakinkan Keiko. Tapi Keiko, sedikitpun, ia tidak merasa sedih.
Peristiwa seperti itu sering terjadi. Pernah juga suatu kali saat Keiko masuk SD, ada keributan di sekolahnya, 2 anak laki-laki yang berkelahi di jam olahraga. "Panggil guru! Hentikan mereka!", teriak anak-anak lain. Keiko mendengar teriakan-teriakan itu dan berpikir mereka harus dihentikan. Maka, ia membuka kotak peralatan yang ada di sebelahnya, ia raih sekop dan berlari menuju anak laki-laki yang sedang berkelahi itu, kemudian ia pukul kepala salah seorang di antara mereka hingga jatuh. Ia baru saja akan memukul anak laki-laki satunya lagi, tapi orang-orang menyuruhnya berhenti. Anak-anak perempuan berteriak dan menangis, guru yang datang terpaku melihat kondisi mengerikan itu.
"Mereka minta perkelahian itu dihentikan, jadi kuhentikan dengan cara yang paling cepat.", Keiko menjelaskan.
Peristiwa lainnya, seorang guru muda sedang marah di kelasnya, sambil memukul-mukul meja guru dengan buku absen, dan murid-murid mulai menangis meminya maaf. "Sensei, maaf! Hentikan, Sensei!" Guru itu tak juga berhenti meski teman-teman Keiko sudah mengiba meminta guru itu berhenti marah dan memukul-mukul meja. Akhirnya, Keiko mendekati guru tersebut, dengan penuh semangat, ia tarik rok dan celananya agar dia diam. Ia terperanjat, mulai menangis, dan akhirnya terdiam. Ketika diminta penjelasan oleh gurunya, Keiko berujar bahwa ia pernah melihat di TV, seorang perempuan dewasa terdiam ketika ditelanjangi.
Lagi dan lagi, orang tuanya dipanggil ke sekolah. Ibunya kecewa dan putus asa, namun tetap menyayangi Keiko. Keiko sendiri, merasa tidak enak telah membuat Ibu dan Ayah kecewa dan selalu meminta maaf pada orang lain, meskipun ia sendiri tidak paham, kenapa mereka kecewa? Oleh karenanya, Kekiko memutuskan untuk sebisa mungkin tidak bicara saat di luar rumah. Orang-orang dewasa mulai lega melihatnya yang tidak bicara banyak dan berhenti mengambil tindakan sendiri, Namun selama SMA, itu menjadi masalah karena Keiko menjadi terlalu pendiam.
Padahal, bagi Keiko, diam adalah cara terbaik, seni hidup yang paling rasional untuk menjalani hidup.
Sampai akhirnya ia mulai kuliah. Suatu hari ia melihat bangunan kosong yang akan dibangun menjadi minimarket. Di kaca beningnya tertempel sebuah poster "SEGERA DIBUKA Smile Mart Stasiun Hiiromachi". Keiko yang tertarik untuk bekerja paruh, mencatat nomor telepon yang ada di poster itu. Keesokan harinya, ia menelepon dan diwawancarai. Wawancaranya sangat mudah, ia pun diterima menjadi pegawai paruh waktu di minimarket tersebut.
Kehidupan Keiko di minimarket inilah yang menarik. Tumbuh dengan kebingungan atas pengharapan orang-orang di sekitarnya, akhirnya teratasi ketika ia menjadi pegawai minimarket. Berbeda dengan menjadi bagian dari masyarakat, menjadi bagian dari minimarket sangatlah mudah, ada panduan untuk segalanya. Bagaimana ia harus menyapa, membungkuk, bagaimana ia harus menata produk, semuanya ada pedomannya. Meskipun di luar ia seringkali tidak memenuhi pengharapan masyarakat, namun di minimarket Ia adalah seorang pegawai yang hebat.
Keiko mahir meniru ekspresi dan gaya berbicara orang lain. Bertahun-tahun bekerja di minimarket, membuat Keiko merasa bahwa minimarket adalah bagian dari dirinya. Keiko yang berusia 30 tahun adalah hasil ia meniru orang lain, karena ia betul-betul tidak tahu bagaimana semestinya ia berperilaku di masyarakat. Gaya bicaranya, gaya pakaiannya, semuanya mencontoh dari rekan kerjanya di minimarket, supaya terlihat 'normal' di masyarakat.
Kenapa saya selalu menuliskan normal dalam tanda petik? Ini yang menarik, karena sejatinya, saya sendiri juga gak bisa mendefinisikan apa itu normal. Definisi normal dan abnormal tak sejalan dengan definisi benar dan salah. Mungkin kita bisa bilang norma-norma sosial banyak membentuk kita untuk berperilaku sama seperti masyarakat lain, sehingga orang lain yang melakukan kebalikannya adalah orang-orang abnormal? Tapi, Keiko tidak bisa melihat itu semua. Banyak kebingungan yang dirasakan oleh Keiko perihal bagaimana orang-orang berperan sebagai bagian dari masyarakat. Ia mulai kebingungan ketika di usianya yang 30 tahun, teman-temannya mulai mempertanyakan soal hidupnya. Kebanyakan dari temannya sudah menikah, punya anak, atau memiliki pekerjaan yang mapan. Hanya Keiko yang masih bertahan dengan pekerjaan part timenya di supermarket. Keiko -atas saran adiknya- selalu menjawab bahwa alasan ia masih bekerja part time adalah karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan baginya untuk bekerja full time. Jawaban tersebut malah menimbulkan banyak keheranan karena bekerja di minimarket di mana ia harus berdiri dalam waktu yang lama, bukanlah pekerjaan yang lazim dikerjakan oleh orang sakit, bukan?
Untuk membuat dirinya terlihat 'normal', ia pun memutuskan untuk tinggal bersama seorang laki-laki bernama Shiraha. Ia mendengar bahwa masyarakat 'normalnya' menjalin hubungan dengan lawan jenis. Keiko sama sekali tak berpikir begitu, ia tak pernah berpacaran atau bahkan membayangkan dirinya berpacaran. Selama ini, ia hanya memfokuskan dirinya sebagai pegawai minimarket, memberikan seluruh perhatiannya di sana. Tapi pada akhirnya, ia berpura-pura menjalin hubungan dengan Shiraha, hanya supaya terlihat baik-baik saja. Betul saja, semua orang di sekelilingnya ikut berbahagia dengan berita Keiko yang tinggal bersama dengan Shiraha. Shiraha sendiri, sebetulnya adalah seorang laki-laki yang juga bekerja di minimarket tempat Keiko. Namun, karena kerjanya tidak becus dan ia mangkir berhari-hari, akhirnya ia dikeluarkan dari minimarket tersebut.
Shiraha, yang hidupnya tak jelas, tidak punya tempat tinggal, banyak terlilit hutang, dan sering mencela Keiko yang aneh dan perawan tua, menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan, "dibuang oleh masyarakat". Maka dari itu, Keiko melakukan penawaran untuk Shiraha tinggal di unit apartemen kecil yang disewanya. Shiraha pada akhirnya menyetujuinya. Awalnya sempat ada penolakan, tapi karena ia melihat banyak keuntungan dari penawaran tersebut, akhirnya dia sepakat.
Hubungan Keiko dan Shiraha betul-betul membuat saya gerah, apalagi dengan karakter Shiraha. Bagi saya, bertemu laki-laki seperti dia layaknya mimpi buruk. Dia kerap kali memaki orang-orang, bermalas-malasan, senang menganggur, dan berharap dinikahi perempuan kaya raya yang bersedia memberinya modal yang besar.
“Itulah kenapa kusebut masyarakat sekarang disfungsional. Mereka bicara manis soal keragaman gaya hidup, tapi pada akhirnya sejak Zaman Jomon semuanya tetap sama. Angka kelahiran menurun, masyarakat kembali ke Zaman Jomon dengan cepat, dan hidup menjadi lebih dari sekadar tak nyaman. Masyarakat telah mencapai taraf di mana eksistensi mereka yang tak berguna bagi desa akan dicela.” (Shiraha)
Pada intinya, konflik utama pada novel ini hanya berpusat pada 1 persoalan saja. Tentang kritik terhadap masyarakat modern, khususnya di Asia. Diskriminasi atas pilihan-pilihan hidup yang berbeda, sepertinya gak hanya terjadi di Jepang, di Indonesia pun sangat sering ditemukan. Tidak menikah di usia muda, merencanakan tidak memiliki anak, disebut-sebut sebagai hidup yang tidak normal, hanya karena berbeda dengan kebanyakan orang. Membaca novel ini seperti sedang berdiskusi panjang soal penilaian sosial. Sedikit banyak, pemikiran Keiko ini mengingatkan saya dengan orang-orang penghuni rumah sakit Villete yang ada di buku Veronika Memutuskan Mati, terutama pada poin yang membahas soal normal dan abnormal.
Yang paling bikin muak adalah Shiraha. Saya berharap ada momen Keiko menendang laki-laki tidak berguna itu. Bisa-bisanya, dia banyak menuntut pada Keiko, mencela unit apartemennya, meminta uang, meminta makan (sambil mencela makanannya), numpang tidur (sambil mencela kamar tidurnya), dan berkeluh kesah seharian tanpa menyadari bahwa ia adalah pusat segala masalah di hidupnya. Satu hal yang dikerjakannya sungguh-sungguh adalah mencarikan Keiko pekerjaan baru, menyuruhnya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, bukan hanya pekerjaan paruh waktu. Supaya apa? supaya Shiraha bisa menikah dengan Keiko dan menumpang hidup dengannya.
“Aku tak tahu lagi dengan standar apa aku hidup. Sebelumnya, tubuhku milik minimarket sekalipun aku sedang tidak bekerja. Aku tidur, menjaga kondisi tubuhku tetap fit, dan makan makanan yang bernutrisi agar bisa bekerja dengan kondisi sehat.” (Keiko)
Novel ini tidak seperti novel remaja pada umumnya. Isu tentang disfungsi sosial dikemas dengan cerita yang menarik. Menyelami perasaan Keiko, seharusnya membuat kita lebih paham bahwa setiap orang punya hak untuk menentukan hidupnya masing-masing. Tidak perlu mendiskriminasi pilihan seseorang hanya karena berbeda dengan yang kita jalani.
0 comments:
Post a Comment