Friday 7 October 2022

, ,

REVIEW BUKU : Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya: Kisah Sufi dari Madura - Rusdi Mathari

Menjadi Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Sejak awal saya melihat judul buku ini, rasa penasaran langsung muncul. Ini buku apa sih? Kisah Sufi dari Madura, katanya. Belum lagi, covernya yang bergambar seorang laki-laki yang wajahnya ketutupan peci, seperti ada pesan di baliknya. Maka, tanpa pikir panjang, buku ini masuk dalam daftar belanjaan saya bulan lalu.

Pada akhirnya, setelah beberapa minggu berkutat dengan buku ini, saya menutup halaman terakhir dengan senyum dan sedikit perasaan yang gak nyaman, karena merasa tersindir dengan semua yang ada di dalamnya. Pengalaman membaca buku kali ini akhirnya ingin saya tuangkan di sini, selain untuk pengingat bagi saya, saya juga ingin membagikannya pada teman-teman di sini, karena banyak juga yang meminta reviewnya pada saat saya upload buku ini di story Instagram. 

Review Sinopsis Buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya

Buku ini mulanya adalah tulisan berseri selama dua tahun di situs web Mojok.co. Sejak kali pertama tayang, kisah sufi dari Madura bernama Cak Dlahom ini segera digemari. Dibaca lebih dari setengah juta pemirsa Mojok.co. Serial Cak Dlahom ini mengisahkan kejadian sehari-hari di sebuah desa di Madura. Sentra kisah ialah Dlahom, duda tua yang hidup sendiri di sebuah gubuk dekat kandang kambing milik Pak Lurah. Tingkah lakunya memang berbeda dari orang-orang di kampung Ndusel.  Berteriak-teriak, lari mondar-mandir, cekikikan sendiri, bercengkrama dengan benda mati, nangkring di kuburan. Orang-orang maklum. Anak-anak menertawakannya. Mereka semua menganggap Cak Dlahom sedang kumat dan tak memedulikannya. Hanya beberapa orang yang menganggap Cak Dlahom istimewa, di antaranya Mat Piti dan anaknya, Romlah. Mereka selalu menganggap bahwa di balik kelakuan Cak Dlahom itu, pasti ada sesuatu yang mengusiknya. 

Dalam buku ini, ada 30 cerita, 30 perenungan dan pelajaran yang pada awalnya adalah keresahan-keresahan yang dirasakan oleh Cak Dlahom. Misalnya bab yang bercerita tentang istri Bunali dan Sarkum, anaknya. Istri Bunali bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Lurah, orang terkaya di kampung itu, yang melakukan umroh sesering ia pulang kampung. Suatu hari, seisi kampung digegerkan dengan berita bahwa istri Bunali meninggal gantung diri di rumahnya. Istri Bunali sudah lama menjanda. Upah pembantu di kampung tidak cukup untuk menutup kebutuhan hidupnya dan anaknya. Sarkum pun sudah 2 tahun tidak bersekolah karena ibunya tak sanggup mebiayai. Karena hutangnya di warung menumpuk, ibu-ibu di kampung sering membicarakannya. Mereka kemudian tahu, istri Bunali sakit-sakitan, tapi omongan tentang istri Bunali tak berhenti. Berhari-hari sampai berbulan-bulan, tak seorangpun dari mereka menjenguk istri Bunali ataupun mencari tahu keadaannya, hingga akhirnya janda itu ditemukan mati gantung diri di kusen pintu rumahnya. Sarkum yatim piatu.

Selepas kejadian itu, Cak Dlahom merintih terus menerus berkata, "Ampuni aku, ya Allah... ampuni orang-orang itu..", begitu terus hingga keesokannya orang-orang melihat ia menggotong karung ke halaman masjid, menumpahkan isinya, pergi lagi, lalu datang kembali menggendong karung, menumpahkan isinya, kemudian pergi lagi. Begitu seterusnya. Orang-orang mulai berdatangan dan melihat aksi janggal Cak Dlahom yang ternyata menumpahkan tanah dari kuburan istri Bunali. Pak RT mencoba menegur Cak Dlahom, bertanya apa maksudnya. Dan ini adalah sepenggal dialog antara Pak RT dan Cak Dlahom,         


"Cak, itu tanah kuburan untuk apa dibawa kemari?"

"Tidakkah masjid ini butuh sumbangan untuk diperluas, Pak RT?"

"Iya, tapi tidak butuh tanah, Cak..."

"Jadi butuhnya apa? Sumbangan uang? Sumbangan semen? Sumbangan besi? Kayu?.... Tanah ini dari kuburan janda Bunali. Dia menitip pesan agar tanah kuburnya disumbangkan ke masjid agar masjid ini bisa megah. Lalu apakah kita akan menolaknya?"

"Bukan begitu, Cak. Kami tak butuh tanah. Apalagi tanah makam. Untuk apa?"

"Agar masjid ini bisa diperluas, Pak RT. Agar kita bisa bangga punya masjid besar dan megah."

"Masjid kita sudah jelek, Cak. Perlu direnovasi..."

"Betul, Pak RT. Merenovasi masjid kini menjadi lebih penting ketimbang memperbaiki dan memperbagus kelakuan. Umat sekarang diajak lebih tergantung pada masjid ketimbang masjid yang tergantung pada umat. Diajak aktif membangun masjid, tapi membiarkan orang-orang seperti istri Bunali terus tak berdaya lalu mati. Diajak rela menyodorkan sumbangan ke mana-mana untuk membangun masjid, tapi membiarkan Sarkum anak Bunali tidak bersekolah dan kelaparan. Kita bahkan tidak menjenguknya. Tidak pernah tahu keadaan mereka. Lalu apa sesungguhnya arti masjid ini bagi kita? Apa arti kita bagi masjid ini?"

Mata Cak Dlahom menatap tajam orang-orang yang mengerubunginya. Semuanya menunduk, termasuk Park RT. Pak RT mewakili orang-orang kampung meminta maaf pada Cak Dlahom karena sudah abai. Lalu Cak Dlahom menjawab,

"Sampean tidak salah, Pak RT. Kita semua yang abai. Kita semua yang abai. Kita semua yang salah. Kita lebih sibuk datang ke masjid ketimbang sibuk mengunjungi orang-orang miskin seperti istri Bunali. Kita rajin berdoa di masjid, lalu merasa bertemu dengan Allah. Padahal ketika Allah kelaparan, kita tidak pernah memberi makan. Allah sakit, kita tidak menjenguk...",

"Hati-hati bicara, Cak." Dullah menciba menegur Cak Dlahom. Dia merasa Cak Dlahom sudah kelewatan, tapi yang ditegur malah bertambah ngoceh.

"Kenap, Dul? Apa kamu sudah lupa kitab-kitab yang diajarkan di pesantren? Apa kamu kira aku akan mengatakan Allah yang sakit? Allah yang lapar? Kamu sebetulnya tahu yang aku maksud bukan itu, tapi Allah yang selalu berada di sisi orang-orang yang sakit, berada di dekat orang-orang yang miskin. selalu menemani orang-orang yang kalah dan dikalahkan. Tapi kita? Kita terus membangun masjid. Terus berdoa di masjid. Terus mengurus diri sendiri, dan tidak segera menjumpai Allah pada orang-orang itu. Kenapa, Dul?"

Semua terdiam.

"Ampuni aku ya Allah, ampuni orang-orang ini..."

Cak Dlahom sesenggukan. Orang-orang keheranan. Baru kali itu mereka melihat Cak Dlahom menangis.

Dalam keseharianya, celotehan Cak Dlahom seringkali tak diindahkan orang-orang, dianggap celoteh orang tak waras. Namun sebetulnya, apa yang Dlahom lakukan adalah berkomentar mengenai subtansi ibadah, yang membuat para tetangganya merenungkan ulang pemahaman mereka atas agama Islam. Nama Dlahom sendiri diambil dari diksi Jawa Timur yang kira-kira artinya "agak bodoh". Kata bodoh mungkin bisa menjadi kunci atas refleksi Cak Dlahom sendiri mengenai pengetahuan manusia atas agama dan Tuhan.  

Bab per babnya punya cerita yang berbeda namun inti yang sama, yaitu satir terhadap kehidupan beragama kebanyakan masyarakat kita. Ini ngeri sih, menyadari kembali bahwa buku bisa sangat efektif masuk ke dalam kepala dan juga hati. Kalau boleh digambarkan, membuka halaman pertama buku ini seperti menyerahkan laporan skripsi pada pembimbing, membacanya seperti dicecar oleh pertanyaan mematikan para penguji, dan menutup halaman terakhir buku ini seperti melihat kembali skripsi saya dengan banyak coretan dan revisi yang harus dikerjakan. I need Cak Dlahom in my life. We all need him.

0 comments:

Post a Comment