Tuesday 15 November 2022

,

Review Buku : Almond - Sohn Won Pyung

Seorang manusia lahir bagaikan selembar kertas putih, kosong, tanpa isi mental bawaan. Sedikit demi sedikit, terisi oleh pena pengalaman dan persepsinya terhadap dunia di luar dirinya. Begitulah teori tabularasa. Tapi, apa yang terjadi jika seorang manusia terlahir bagaikan bongkahan batu kali? Sesering apapun pena membuat coretan di atasnya, tidak juga terlihat coretannya. Ini adalah premis utama novel ini, Almond.

Review Novel ALmond - Sohn Won Pyung

Novel ini dibuka dengan pengakuan seorang anak laki-laki saat menyaksikan suatu peristiwa yang brutal. Terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria dengan menggunakan pisau. Satu orang terluka, enam orang lainnya meninggal dunia. Korban terakhir adalah pria itu sendiri. Ia membunuh dirinya, menikam dadanya sedalam-dalamnya dengan pisau. Anak laki-laki itu hanya menyaksikan kejadian yang terjadi di depan matanya, tanpa melakukan apa-apa, tanpa ekspresi. Anak laki-laki itu adalah Yoonjae.

Itu bukan kali pertamanya Yoonjae menyaksikan tragedi yang mengerikan. Sepanjang hidupnya, ia berkali-kali ada di situasi seperti itu. Saat ia masih berusia 6 tahun, ia pulang dari TK seorang diri, berjalan kaki. Tanpa tau arah, ia terus berjalan mengikuti arah perginya burung-burung. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa ia tersesat, ia sudah berada di sebuah gang yang di kelilingi oleh rumah-rumah tua yang tampak sudah mau roboh. Tidak jauh dari situ, ia mendengar suara teriakan kecil yang ternyata berasal dari sebuah belokan di gang. Ia berjalan mendekati belokan itu dan menyaksikan seorang anak -usia SMP- yang terbaring di atas tanah di kelilingi anak-anak lainnya yang mengelilinginya sambil menendang dan meludahinya. Seluruh tubuh anak itu berdarah, badannya terlempar ke sana ke mari seperti boneka. Yoonjae keluar dari belokan dan menemukan sebuah toko kecil. Ia masuk ke dalamnya dan memanggil si penjaga toko yang ternyata sedang asyik menonton TV. Panggilan pertama tidak membuatnya mengalihkan pandangan dari tayangan TV.

"Ajeossi." panggilnya untuk kedua kali.

"Iya," jawab Ajeossi  sambil membalikkan wajahnya.

"Ada orang yang pingsan di depan gang," 

Si penjaga toko cuek dengan berkata, "Oh begitu?"

"Mungkin saja dia sudah mati." Yoonjae berkata sambil memegang karamel yang dipajang rapi di atas meja toko.

"Oh ya?

"Iya."

Barulah pandangan Ajeossi tertuju pada Yoonjae

"Kau ini, kenapa gaya bicaramu begitu tenang? Kau tidak boleh membohongiku!"

Yoonjae berpikir keras mencari cara untuk meyakinkan Ajeossi, tapi ia tidak bisa menemukan kosa kata lainnya. 

"Mungkin dia sudah mati." Yoonjae hanya bisa mengatakan itu terus menerus.

Akhirnya, Ajeossi melapor pada polisi sambil tetap menonton TV. Anak yang dipukuli, menghembuskan napas terakhirnya. Masalahnya, anak itu tidak lain adalah anak laki-laki Ajeossi tadi. 

Di kantor polisi, Ajeossi meraung-raung bersimbah air mata, duduk bersimpuh dengan badan gemetar, memukul lantai dengan tinjunya, lalu bangun dan berteriak-teriak pada Yoonjae sambil mengacungkan tangannya,

"Andai saja kau bicara sedikit lebih serius, semuanya pasti tidak akan terlambat!"

Begitulah Yoonjae. Raut wajahnya tidak pernah berubah, bahkan ketika ia menyaksikan pembunuhan di depan matanya sekalipun. Ibunya mulai khawatir sehingga membawanya ke rumah sakit untuk mencari tau apa yang terjadi dengan anaknya. Diagnosa dokter menyatakan bahwa Yoonjae terkena penyakit Alexitimia, ketidakmampuan dalam mengungkapkan dan merasakan emosi. Penyebabnya adalah amigdala -atau yang biasa disebut almond- dalam kepalanya tidak berkembang dengan baik, sehingga jaringan komunikasi antara sistem limbik otak dan lobus frontal tidak lancar. Yoonjae tidak bisa merasakan senang, sakit, sedih, ataupun takut. Karenanya, orang-orang sering menyebutnya 'monster'.

Ia hidup dengan ibu dan neneknya di sebuah toko buku bekas. Ibunya berjualan buku bekas demi membiayai Yoonjae, karena suaminya sudah meninggal sejak dulu. Meskipun dianggap aneh oleh teman-temannya, Yoonjae tidak pernah membuat masalah di sekolah. Ibunya yang selalu khawatir akan keadaannya, selalu mengajari Yoonjae dalam bersikap dan merespon orang lain. Ibunya menuliskan beberapa kalimat di kertas berwarna dan menempelkannya di papan besar, tulisan-tulisan seperti ini:

Kalau mobil mendekat -> Harus menghindar atau berlari

Kalau ada orang yang mendekat > Bergeser ke salah satu sisi agar tidak bertubrukan

Kalau orang tertawa -> Ikut tersenyum

Di bagian paling bawah, ada catatannya "Dalam hal raut wajah, kau akan merasa nyaman bila mengikuti raut wajah semiripmungkin dengan yang dilakukan lawan bicaramu"

Ketika teman-temannya sibuk menghafal tabel perkalian, Yoonjae masih menghafal norma dan mencocokkan kalimat-kalimat yang saling terkait, dan ibunya akan memberikan ujian atas hal tersebut. Hari-harinya dilewati seperti itu, terus menerus, hingga tibalah satu hari. Hari itu, malam Natal, dingin bersalju, hari ulang tahun Yoonjae yang ke18. 

Ia bersama ibu dan neneknya, pergi untuk makan malam bersama, seperti yang biasa mereka lakukan selama ini dalam rangka merayakan ulang tahun Yoonjae. Itu adalah awal dari tragedi yang diceritakan di awal. Selesai makan, ibu dan nenek bergegas keluar restoran, ibu tertawa bahagia menangkap salju-salju yang turun dengan derasnya, sedangkan Yoonjae masih di dalam restoran, meminta permen pada pelayan restoran. Barisan paduan suara bertopi Santa dan jubah merah, ramai menyanyikan senandung Natal. Suasana sungguh meriah. Namun tiba-tiba, teriakan demi teriakan muncul. Awalnya sulit mendengarnya karena tertutupi oleh suara paduan suara. Seketika, suara paduan suara mulau kacau dan tertutup oleh suara teriakan orang-orang.

Seorang pria melompat dari balik pintu kaca dan menikamkan sesuatu. Orang itu adalah pria yang berpakaian formal dan berkeliaran sebelum kami memasuki restoran. Tidak sesuai dengan pakaiannya, dia memegang pisau dan palu di kedua tangannya. Pria itu melambaikan kedua tangannya sambil cekikikan, seolah-olah akan menusuk orang yang dilihatnya. Pria itu mendekati barisan paduan suara dan beberapa orang terlihat bergegas mengeluarkan ponselnya. 

Pria itu menoleh dan pandangannya berhenti ke arah ibu dan nenek. Dia kemudian berbalik arah, Nenek langsung menggenggam dan menarik ibu. Setelah itu, terjadilah tragedi itu. Pria itu memukulkan palu ke kepala ibu Yoonjae. Tiga kali.

Dalam sekejap, ibu Yoonjae sudah berbaring lemah bersimbah darah. Yoonjae mendorong pintu restoran, hendak pergi keluar, namun neneknya berteriak dan menghalangi pintu dengan badannya, supaya Yoonjae tetap aman. Pria itu masih memegang pisau, melambai-lambaikannya. Yoonjae mengetuk-ngetuk pintu kaca, tapi nenek tetap menahannya sambil menggelengkan kepalanya, mencegah Yoonjae untuk keluar. Tiba-tiba pria itu sudah ada di belakang nenek, dan Yoonjae hanya mendengar satu kali teriakan neneknya sebelum akhirnya melihat cipratan darah yang memenuhi pintu kaca restoran. Dengan raut wajah tanpa ekspresi, tanpa merasakan sakit, sedih, takut, ataupun marah, Yoonjae menyaksikan neneknya yang meninggal dan ibunya yang koma.

Semenjak kejadian itu, Yoonjae tinggal sendiri di rumah, di toko buku bekas itu. Toko buku berada di lantai 1, sedangkan lantai 2 merupakan toko roti. Pemilik toko roti beserta keseluruhan gedung itu bernama Professor Shim, dulunya seorang dokter. Karena mengenal ibunya Yoonjae cukup lama, Prof Shim menjadi cukup akrab dengannya dan paham juga akan kondisi yang dialami oleh Yoonjae. Maka selama ibu Yoonjae terbaring di rumah sakit, Prof Shim merasa harus membantu dan menjaga Yoonjae.

Suatu hari, ketika Yoonjae sedang menjenguk ibunya, ia berpapasan dengan seorang pria di lift. Pria paruh baya yang terlihat murung. Namun, begitu melihat Yoonjae, ekspresinya berubah. Beberapa hari kemudian, pria itu yang ternyata bernama Yoon Kwonho, mendatangi toko buku bekas dan meminta bantuan Yoonjae. Pada Yoonjae, ia meminta untuk berpura-pura menjadi anaknya di depan istrinya. Pasalnya, semenjak Pak Yoon kehilangan anaknya 13 tahun yang lalu, kesehatan istrinya menurun, hingga akhirnya kritis dan terbaring lemah di rumah sakit. Beberapa hari yang lalu, ada telepon yang menyatakan anaknya sudah ditemukan, namun dalam kondisi yang berbeda. Pak Yoon meminta Yoonjae untuk berpura-pura menjadi anaknya yang hilang di depan istrinya. Yoonjaepun mengiyakan, ia ingat pesan nenek 'lebih baik membantu, asal tidak membahayakan'.

Setelah pertemuan itu, beberapa hari kemudian istri Pak Yoon meninggal dengan damai. Yoonjae hadir dalam upacara pemakaman istri Pak Yoon. Setelahnya, ketika hendak keluar ruangan, Yoonjae menyadari semua orang menutup mulutnya dengan serempak sambil melihat ke satu arah. Di situlah anak itu berdiri. Gon, namanya. Nama aslinya adalah Lee So, anak kandung Pak Yoon yang sudah menghilang selama 13 tahun. Tubuhnya kurus, pendek, seperti anak-anak pengidap busung lapar. Kulitnya hitam, alis tebal, pandangannya membuat semua orang terpaku, seperti binatang buas yang ingin menerkam. Sebetulnya, itu adalah kali kedua Yoonjae bertemu dengan Gon. Gon adalah murid baru di sekolahnya. Hanya dalam 30 menit, informasi tentang Gon sudah menyebar ke seluruh sekolah, "Dia anak berandal. Mungkin dia sudah pernah mencoba semuanya, kecuali membunuh".

Di akhir acara pemakaman, Gon duduk di depan Yoonjae sambil menghabiskan dua mangkuk yukgaejang.

"Kau, kan? Anak yang berpura-pura menjadi diriku?

Aku muak melihat tingkahmu. Yah, walau semua ini bisa hiburan untukku."

Nah. Konflik utamanya ada di sini, saat Gon muncul. Gon yang benci dengan Yoonjae, melakukan apapun untuk menyakiti Yoonjae. Bukannya merasa puas dan hebat, Gon semakin murka. Karena sekeras apapun ia memukul Yoonjae, meskipun wajah Yoonjae sudah babak belur tak karuan, Yoonjae tetap tenang, tidak takut, tidak merasa sakit. Ini adalah definisi monster ketemu monster, meskipun monster-monster ini berbeda satu sama lain.

Saya suka dengan alur ceritanya. Mengalir begitu saja, gak terlalu berat. Ada banyak kritik tentang ending yang terlalu "dongeng disney". Tapi, buat saya penyuka happy ending sih, gak masalah. Kritik dari saya mungkin masalah terjemahan. Ada sekalimat atau 2 kalimat yang saya ingat betul, saya bingung memikirkan artinya. Mungkin karena novel ini banyak membahas soal emosi, saya lumayan paham bagaimana sulitnya menerjemahkan emosi dalam kata-kata, supaya punya makna yang sama dengan bahasa aslinya. Keseluruhan, saya jadi paham kenapa member BTS baca buku ini. Cerita tentang anak yang tumpul emosi, tapi justru novel ini memuat banyak emosi di dalamnya. Selamat membaca!

"Memahami perasaan yang belum kauketahui itu tidak akan selamanya baik. Perasaan itu adalah hal yang menyebalkan. Dunia ini bisa terlihat berbeda dengan apa yang kauketahui. Semua hal-hal kecil yang mengelilingimu bisa menjadi senjata tajam untukmu. Wajah tanpa ekspresi atau omongan-omongan tajam bisa datang menghampirimu. Coba perhatikan batu kerikil di tepi jalan. Dia tidak merasa terluka karena dia sendiri tidak tahu sedang ditendang oleh orang-orang. Namun, kira-kira bagaimana 'perasaan' batu kerikil jika 'tahu' bahwa setiap hari dia selalu ditendang, diinjak, berguling-guling hingga pecah sebanyak ratusan kali." (Prof Shim)

11 comments:

  1. Entah kenapa kurang suka baca Novel atau non fiski sejenis, tapi sepertinya ini menarik. Terimakasih reviewnya mba...

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya sangat suka novel atau cerita yang bertema mental health. Dan baru mulai mencoba menulis novel sendiri based on true story' di https://herijo.my.id/novel-bangkit-dari-paranoid-bab-1-tragedi/

      Delete
  3. Novel yang sangat menarik. Saya rasa ini bakal diangkat jadi versi filmnya deh. Konsep seseorang yang mati rasa karena amigdala nya rusak juga sering dijadikan sebagai karakter aktor di film

    ReplyDelete
  4. Bagus review-nya. Saya belum pernah membaca novel korea, biasanya dari asia buku-bukunya karya Haruki Murakami.

    ReplyDelete
  5. Entah kenapa kurang suka novel terjemahan. Wkwk. Emang dasarnya aku malas baca orangnya kali ya. Keren, ulasannya bisa panjang gitu.

    ReplyDelete
  6. Alurnya banyak ya mbak. Gak paham kenapa tiba² malah nenek dan ibunya dibunuh sama orang yg gak dikenal. Klimaksnya disitu yaa sampai dia harus hidup sendiri karena ibunya koma. Mengaduk-aduk emosi banget. Kasian, tapi gemes hehe.

    ReplyDelete
  7. Seruuuuu... Ah ku ikuti Baca sampai akhir, aku pengen baca buku aslinya ini. Tapi ngeri juga ya kalau ada yang kena penyakit Alexitimia ini. Bisa jadi manusia tanpa perasaan gitu. Lrmpeng-lempeng aja mulainya.

    ReplyDelete
  8. Novel psikologis seperti ini memang menarik untuk dibaca. Apalagi jalan ceritanya unik. Review di tulisan ini bikin penasaran pengen baca novelnya

    ReplyDelete
  9. Ngeri nih kalau ada orang yang ngga punya emosi atau ekspresi kayak si Yonjae. Kalau ngga salah masuk di penyakit mental

    ReplyDelete
  10. Salah satu genre novel yg aku suka karena membahas kondisi psikologis seseorang, terlebih isu mental health dan psikologi sedang ramai dibicarakan. Terimakasih reviewnya kak 🥰

    ReplyDelete