Saturday 6 June 2020

, ,

CORETAN MAMANIS : Drama Trimester 4, Drama Berusaha Menjadi Ibu Sempurna

Melanjutkan cerita kemarin tentang betapa menakjubkannya melahirkan seorang anak, kali ini saya ingin cerita tentang gak kalah "menakjubkannya" hari-hari setelah menjadi seorang ibu. Ah ya, selama saya hamil, saya sering baca-baca seputar baby blues, menyusui, dan juga tahapan-tahapan perkembangan bayi. Mendengar baby blues bukan hal asing bagi saya yang pernah mempelajari topik ini di bangku kuliah. Saya paham, kalau hormon-hormon melahirkan ini punya banyak andil terhadap kondisi emosional ibu yang baru melahirkan. Satu hal yang bikin saya khawatir, jangankan meny pengaruh hormon, tanpa adanya hormon-hormon itupun saya memang orang yang cukup emosional. Makanya, saya banyak cari tips-tips dalam menghadapi baby blues, untuk persiapan nanti. Saya juga udah wanti-wanti Mas Suami perihal baby blues ini. Apakah artinya saya bisa terhindar dari baby blues? Hmm... Tidak semudah itu, Marisol.


Kembali ke cerita, setelah persalinan, hanya dalam hitungan beberapa jam, saya sudah bisa banyak gerak. Orang-orang yang melihat saya kadang heran dan ikut ngilu-ngilu, kok baru melahirkan udah "lincah" aja. Jawabannya jelas, karena saya masih di bawah pengaruh pain killer, gak kerasa sakit sama sekali. Setelah pindah ke kamar perawatan, Baby Al langsung ikut di dalam kamar. Saya masih canggung untuk ngotak ngatik Baby Al. Jangankan membedong atau ganti popok, ngangkat bayi aja rasanya deg deg serrr. Untung suster di sana super gesit.

Malam pertama dengan Baby Al sungguhlah berat. Baby Al menangis sepanjang malam. Setiap saya kasih ASI, dia bisa tidur. Tapi selang 10 menit, dia kembali menangis. Kala itu, saya gak tau apa yang salah, apa yang bikin dia menangis. Biasanya suster datang dan membantu menenangkan, ataupun menggantikan popoknya. Suster bilang, bayi newborn gini kalau nangis biasanya karena 3 hal, lapar, ingin ganti popok, atau ingin digendong. Alhasil, sepanjang malam pertama itu, ritmenya sama. Menyusui, ganti popok, gendong, menyusui, ganti popok, gendong. Bahkan esoknya saya seringkali tertidur dengan posisi duduk sambil menggendong Baby Al.


Setiap pagi, Baby Al dibawa suster untuk dimandikan dan diperiksa kesehatannya. Hari kedua, suster bilang kalau BB Baby Al turunnya lebih dari batas normal. Selain itu, ada kemungkinan bilirubin Baby Al tinggi, karena terlihat kuning. Satu-satunya cara untuk mengatasi 2 permasalahan tersebut adalah dengan memberikan ASI terus menerus pada Baby Al. Melihat kondisi Baby Al, DSA bilang kalau kemungkinan ASI saya gak keluar, makanya BB Baby Al turun. Awalnya saya gak percaya, karena selama hamil, ASI saya sering banget rembes-rembes ke baju. Ternyata, ASI rembes saat hamil itu gak ada hubungannya dengan produksi ASI itu sendiri. Waktu dipumping di rumah sakit, 1 payudara hanya menghasilkan 3 cc aja. Sedih gak sih? Padahal saya ngerasa payudara saya penuh banget, kaya mau meledak gitu. Tapi kok isinya gak keluar?

Suster dan DSA menyarankan saya untuk memberi Baby Al susu formula untuk sementara waktu, karena melihat bilirubin Baby Al yang tinggi dan BB nya yang semakin turun. Awalnya saya gak tega, apalagi dari informasi-informasi yang saya dapatkan selama mempelajari ilmu menyusui, susu formula adalah opsi paling paling paliiiing terakhir. Tapi, saya lebih gak tega kalau lihat Baby Al yang nagis terus menerus karena lapar, dan lihat kulit dan matanya yang terlihat kuning. Awalnya, saya tetap bersikeras menolak pemberian susu formula sampai akhirnya saya keluar dari rumah sakit. DSA mengijinkan dengan catatan saya harus menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa pihak rumah sakit sudah merekomendasikan untuk pemberian susu formula, sehingga apabila kondisi Baby Al menjadi buruk, rumah sakit tak mau disalahkan. Agak kesal sih lihatnya, tapi ya mau gimana lagi.


Sepulangnya saya ke rumah, pola tidur Baby Al sama seperti di rumah sakit. Tidur sebentar, lalu terbangun nangis kelaparan. Begitu saya susui, ia tertidur lagi. Tapi gak lama, bangun lagi. Jelas banget kalau dia lagi lapar. Bolak balik saya terbangun ssambil menangis karena lelah, juga gak tega melihat Baby Al yang lapar. Inilah masa-masa saya mengalami baby blues. Di satu sisi, saya merasa gak bisa menjadi ibu yang sempurna karena merasa banyak kekurangan dalam mengurus Baby Al, tapi di sisi lain saya merasa sangat lelah dan merasa sendirian melewati fase ini. Mas suami tentu saja membantu dan sigap ketika saya minta pertolongan, tapi entahlah.. rasanya itu masih kurang. Ada perasaan gak berdaya tiap melihat Baby Al, "Apa sanggup saya mengurus bayi manusia ini, sedangkan untuk menenagkan tangisannya saja saya pusing setengah mati", pikiran itu berulang-ulang terlintas di pikiran saya.


Seringkali, saya menangis tiap malam, tanpa tau penyebab pastinya. Suatu malam saya terbangun karena tangisan Baby Al. Di tengah rasa lelah, setelah menidurkan kembali Baby Al, saya kembali menangis. Saya yakin betul tangisan saya cukup kencang, dan menjadi semakin kencang ketika melihat Mas Suami yang tertidur pulas tanpa mendengar tangisan saya. Esoknya, karena saya gak tahan dengan kondisi ini, saya mengadu kepada Mas Suami kalau saya seringkali menangis, seringkali sedih. Mas Suami yang pada dasarnya cuek dan kurang peka, cukup terkejut. Dia gak melihat dan merasa ada yang salah dengan saya, karena saya gak cerita. Ya, Mas Suami adalah tipe suami yang menegaskan kalau dirinya bukan Dedy Corbuzier yang bisa baca pikiran, ia menomorsatukan komunikasi melalui ucapan, bukan melalui pikiran. Akhirnya bocor lah pertahanan saya, saya cerita semua muanya tentang perasaan yang saya alami, perasaan sendirian, gak mampu, lelah, dan berbagai deretan keluhan selama ini. Suami langsung memeluk erat dan bilang, "Kenapa gak pernah cerita? Kamu gak pernah sendirian". Ajaibnya, meskipun pelukan itu gak lama, karena Baby Al keburu terbangun, saya merasa tenang, merasa aman, dan yakin, kalau saya bisa.

Drama gak berhenti sampai di situ. Setelah mengonsumsi susu formula selama beberapa hari, ternyata ASI saya mulai keluar dengan derasnya, 1 payudara bisa sampai 150ml, dan bisa penuh lagi dalam 2 jam. Payudara yang bengkak semakin sakit kalau gak dikeluarin, sampai seringkali saya bangun tiap malam cuma untuk ngeluarin ASI karena gak tahan ngilunya yang sampai terbawa mimpi. Sampai pada akhirnya, karena sepertinya teknik memerah yang salah, puting saya terluka di dalam, sehingga menyebabkan ASI berwarna pink karena bercampur darah. Drama apalagi ini! Tapi untungnya, saat itu saya punya donor ASI, yaitu kakak ipar sendiri yang alhamdulillah stok ASIPnya pun melimpah.

Setelah puting saya membaik, saya mulai dbf kembali, tapi luar biasanya puting saya lecet lagi. Gak sampai berdarah sih, tapi cukup bikin saya lemes tiap kali ngeliat Baby Al minta nenen, bawaannya deg degan terus. Belum lagi stretchmark di paha yang tiba-tiba muncul saat hamil, waduh.. kalau diceritain pengalaman hamil dan melahirkan ini luar biasa, mungkn itu sebabnya diciptakan lagu Kasih Ibu yang tak terhingga sepanjang masa. Tapi, gimanapun juga, ini adalah permintaan saya sama Tuhan, jawaban dari do'a saya.

Halo lagi Tuhan! Kau tau kan, ketika saya menulis ini, saya gak sedang protes ataupun mengeluh, hanya cerita dan takjub gitu Tuhan. Ingin bilang WOW ternyata saya pernah melaluinya! Hehe.




2 comments:

  1. Trimester empat ini memang luar biasa, sekarang pas anaknya udah balita jadi ngerti banget kata-kata this is too shall pass itu bener banget. Tetap semangat ya nis, sehat terus nisa dan baby al ya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baru sempet baca komen2 lagi. Hwaaaaa terima kasihhh

      Delete