Tuesday 16 April 2019

, , ,

Halaman Terakhir : Tentang Pringsewu, Lampung

Dari kecil, saya benci yang namanya perpisahan. Bahkan berpisah dengan hal yang saya bencipun kadang membuat saya gak nyaman. Aneh kan? Terbiasa dengan satu hal dan tiba-tiba harus memulai hal yang baru lagi adalah satu hal yang asing. Makanya, saya ini termasuk orang yang sangat senang menyimpan kenangan, dalam bentuk apapun. Foto-foto sih udah biasa, tapi saya kerap menyimpan barang-barang yang berhubungan dengan masa-masa tertentu, misalnya kartu ujian praktek SMP, name tag selama OSPEK kala SMA dan saat memasuki universitas, bahkan dulu saya pernah menyimpan baik-baik uang 5.000 yang saya dapat dari gebetan saya semasa SMP. Freak emang. Makanya waktu kecil juga saya sering dibilang cengeng atau mellow, saya pernah galau berhari-hari karena suatu hari Ibu menjual kulkas di rumah dan menggantinya dengan yang baru.
Tapi khusus kali ini saya akan menulis dan bercerita, dalam rangka menyimpan kenangan saya, untuk kelak saya bagikan pada anak dan cucu saya (Insya Allah). Kenangan yang saya tulis ini, tentang pengalaman 1 tahun berada di Pringsewu, salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung, provinsi yang terkenal dengan kain tapisnya.

 

Beberapa minggu sebelum menikah, suami saya bilang kalau surat mutasinya sudah keluar. Ia ditugaskan di Pringsewu, Lampung. Suami sempat minta maaf karena harus membawa saya ke luar Jawa, meskipun sebenarnya ia gak memaksa saya untuk ikut. Tapi, tentu, saya tahu ia ingin. Makanya, di hari pernikahan, supervisor saya laporan ke bos besar, bahwa nampaknya saya harus berhenti bekerja. Bos besar sempat menawarkan agar sayapun mutasi ke kantor cabang Lampung. Tapi masalahnya, kantor saya di Lampung berada tepat di tengah kotanya, sedangkan suami saya di Kabupaten Pringsewunya. Jarak keduanya gak kurang dari 40 km, oleh karena itu dengan berat hati saya menolak tawaran bos besar.

Pemilihan rumah kontrakan saya serahkan pada suami. Beberapa kali saya ditawarkan rumah-rumah kontrakan oleh rekan kerja saya, tapi seringkali saya merasa gak cocok saat melihat fotonya. Kebanyakan terlihat terlalu besar untuk dihuni oleh 2 orang, sisanya lagi kebanyakan bersebelahan dengan kebun-kebun yang luas dan pohon-pohon besar. Dua duanya saya tolak dengan alasan yang sama, karena saya merasa seram. Fakta bahwa saya akan lebih sering sendirian di rumah, membuat saya berpikir bahwa saya butuh rumah kontrakan yang gak terlalu besar dan dikelilingi oleh rumah juga, bukan kebun. Karena tentu saya lebih suka berkomunikasi dengan manusia, bukan nyamuk.

Akhirnya, suami berhasil menemukan 1 rumah, terletak di dalam 1 kavling kecil yang berisi 5 rumah, blok A sampai E. Beruntungnya saya, karena kebetulan masih ada 1 rumah yang kosong, rumah yang blok E. Harga sewanya termasuk di atas rata-rata harga sewa rumah kontrakan Pringsewu. Tapi saya maklum, rumah ini termasuk rumah baru, tipe-tipe rumah zaman sekarang. Lokasinya pun hanya 5 menit dari kantor suami. Akhirnya karena kami berdua merasa cocok dengan rumah ini, suami segera menyewa rumah tersebut hingga 1 tahun ke depan.

Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi

Minggu-minggu pertama di rumah kontrakan kebanyakan saya lewati dengan berbelanja perabotan rumah, mendekor ruangan-ruangan agar kami merasa nyaman dan merasakan yang namanya rumah, bukan sekedar tempat singgah sementara. Awalnya, gak terasa berat sama sekali, karena masih banyak hal-hal yang saya kerjakan di rumah. Tapi satu hal terjadi saat saya menginjak bulan ketiga. Rasa bosan dengan rutinitas yang ada, kerinduan dengan pekerjaan kantor, juga rindu akan segala sesuatu tentang Bandung, bikin saya sering galau dan mengeluh pada sahabat saya. Kadang saya juga mengadu pada suami, kalau saya kesepian saat ia sedang bekerja. Suami sempat beberapa kali menawarkan saya untuk kembali ke Bandung saja, daripada saya tersiksa. Tawaran suami sempat saya pertimbangkan, tapi kok ya saya ngerasa cemen dan cupu banget sama tantangan hidup. Masih ingat kan pepatah "If you don't like things are, change it! You're not a tree!" ? Nah, pepatah itu juga yang bikin saya sadar, bahwa tugas saya lah yang harus mengubah rutinitas saya menjadi gak membosankan, bukan malah pergi dan menghindar.

Mula-mula, saya mulai mengaktifkan kembali blog ini. Blog ini sudah berjalan 5 tahun, tapi gak pernah ada progress yang signifikan karena jarang saya update. Apalagi alasannya kalau bukan tentang sibuknya pekerjaan di kantor yang gak menyisakkan waktu luang. Oleh karena itu, saya berjanji untuk membuat progress yang signifikan, dan alhamdulillah terbayar dengan total pageviews yang meningkat menjadi 2x lipat dan beberapa tawaran kerja sama dengan beberapa brandpun mulai bermunculan hingga saat ini. Target saya masih jauh dari situ, kualitas dan kuantitas artikel perbulannya pun masih perlu diperbaiki, tapi seenggaknya, ada kemajuan lah.

Selain itu, saya juga membuat schedule tiap harinya, yang tentu sering saya langgar. Tapi kan namanya usaha, walaupun gak sesuai jadwal, seenggaknya saya punya garis besar hari ini apa yang akan saya lakukan. Akses social media sangat sangat membantu kegiatan saya di sana. Kalian tau apa yang saya lakukan? Saya belajar masak, berlatih Bahasa Inggris, belajar sejarah, biologi, dan psikologi tentunya, semuanya dari youtube. Oleh karena itu, makasih Pak Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim, dan para pembuat konten, yang membuat hidup saya terasa jauh lebih mudah di Pringsewu.

Sebelum saya pindah ke Pringsewu, saya sempat membayangkan akan banyak menghabiskan aktivitas di luar rumah. Pergi ke pengajian dengan tetangga, pergi ke tukang sayur, mengobrol dengan tetangga di depan rumah ala ibu-ibu komplek, tapi ternyata semua hanya angan-angan saja. Cuaca panas yang gak santai, bikin saya dan para tetangga merasa lebih nyaman berada di dalam rumah. Ada kalanya kami mengobrol di halaman rumah pada pagi atau sore hari, tapi kalau siang hari, kami lebih nyaman ngadem di dalam kamar berAC.

Tapi, gak semua hal dari Pringsewu terasa membosankan. Sebutlah pemandangan hamparan sawah di pagi hari dengan kabut yang tebal karena udara yang masih minim polusi karena kendaraan bermotor yang gak sebanyak di Bandung. Juga, saya selalu menikmati pemandangan sunrise maupun sunset di Pringsewu, 2 hal yang gak pernah mengecewakan, kan? 

Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi
 Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi
Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi 

Ada lagi satu hal yang pasti akan saya rindukan. Perjalanan melintasi laut dengan menggunakan kapal laut. Tidur di kamar yang disediakan untuk beristirahat selama perjalanan, menikmati pemandangan laut di siang hari, mengamat aktivitas yang orang-orang lakukan di kapal, dari mulai penjual makanan sampai tukang pijat keliling.

Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi

Balik lagi ke rutinitas di Pringsewu, waktu bebas dengan aktivitas yang "semau gue" memang sulit dijalani dan terasa membosankan kalau saya gak punya tujuan. Tapi, selama saya punya banyak hal yang ingin dipelajari dan dikejar, rasanya 1 hari berlalu dengan cepat. Gak kerasa, tiba-tiba suami udah pulang aja. Bahkan, semenjak tinggal di Pringsewu saya mulai senang bermain dengan tumbuhan, mulai paham cara menyemai biji-biji sayuran dan buah-buahan. Ha!

Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi 

Jadi, saya berasumsi, setiap langkah baru, setiap perpindahan dan perpisahan ini semacam blessing in disguise, pasti ada hal positif yang bisa saya dapatkan dibalik semua ini. Sebetulnya bisa banget saya mengeluh lelah dengan flow ini, tapi saya juga bisa memilih untuk tetap bersyukur.

Akhir cerita, dibalik semua kegalauan dan kerinduan pada Bandung kala itu, dibalik rindunya akan tempat hiburan dan makanan enak di Bandung, dibalik keluhan yang saya ucapkan setiap listrik mati, terima kasih Pringsewu, telah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Semuanya menyenangkan, suatu saat mungkin kita akan dipertemukan kembali! 

Tertanda,
Penghuni rumah melati.

Cerita tentang Pringsewu Lampung Anisa Firdausi

2 comments:

  1. "Fakta bahwa saya akan lebih sering sendirian di rumah..."

    Pantes pas lihat foto berdua di depan kontrakan, langsung kerasa aura2nya bukan rumah yg "ramai penghuni". Saya pernah mengalami hal yg sama soalnya, mbak... Ditinggal suami sendirian, sesekali dia malah baru bisa pulang ke rumah (bukan sampai rumah) jam 12 malam Wkwkwkkwkw

    Btw sekarang udah balik tinggal di Jawa lagi, mbak?

    ReplyDelete
  2. Hahaha. Lumayan ya mbak, jadi pengalaman..
    Sekarang suami pindah ke Sleman mbak. Aku sementara di Bandung dl sampai bbrp bulan ke depan..

    ReplyDelete