Friday 29 March 2019

Stop Thinking, Start Living

Ada banyak draft yang saya buat kala menulis tulisan dengan tema Big Life Decision ini. Jelas, karena mengambil keputusan besar dalam hidup itu bukan hanya sekali atau dua kali. Sepanjang saya berkolaborasi dengan Bandung Hijab Blogger, menurut saya tema kali ini adalah tema tersulit untuk ditulis. Saya berusaha keras untuk membuat tulisan ini tidak terlihat seperti diary anak SMA, tapi ternyata sulit. Jadi, tolong maklumi. Kalau kamu merasa geli membacanya, kamu bisa skip ke artikel lain ya!


Sejujurnya, saya bukan ahlinya dalam membuat keputusan. Kalau saya disebut-sebut kurang mandiri, saya juga gak bisa ngelak. Karena memang begitu adanya. Saya selalu dihadapkan pada perasaan galau dan takut saat memilih satu hal dan mengenyampingkan yang lainnya. Perasaan takut menyesal. Maka, biasanya, saya selalu minta opini orang lain. Tapi, beda dengan keputusan besar yang saya ambil 2 tahun yang lalu.

2 tahun yang lalu, akhir tahun 2016 adalah masa-masa yang kelam. Singkat cerita, saya memutuskan hubungan dengan pacar (yang 2 bulan berikutnya seharusnya akan menjadi suami) saya. Hubungan yang terjalin selama 7 tahun, berhenti di akhir tahun itu. Bukan hanya keputusan besar, tapi ini juga merupakan keputusan tersulit bagi saya. Gak ada orang ketiga, gak ada masalah besar, hanya kerikil-kerikil yang kerap orang bilang "cobaan yang mau nikah". Banyak orang yang berpendapat begitu kan? Semakin mendekati hari pernikahan, semakin banyak ujian untuk "naik kelas".

Tapi ada satu hal yang selalu menjadi pertanyaan saya, "Betulkah ini cobaan? atau ini petunjuk dari Tuhan kalau dia bukan jodoh saya?", bukankah Tuhan menyimpan banyak misteri? Bukankah Tuhan senang bermain teka-teki? Pertanyaan ini terus ada di benak saya selama 5 bulan sebelum hari pernikahan. Sampai akhirnya saya diamkan saja, menganggap itu hanya ulah setan. Tapi, entah kenapa, semakin sering saya meminta petunjuk Tuhan, kerikil-kerikil itu menjadi semakin banyak. Benar saja, 2 bulan sebelum menikah, pacar saya mengatakan suatu hal yang mengecewakan, yang bertentangan dengan rencana kami, yang membuat saya matang untuk mundur dari pernikahan ini.

Sebetulnya, bisa saja saya mengabaikannya. Pacar saya pun menginginkan untuk melanjutkan rencana pernikahan kami. Melupakan apa yang terjadi sebelumnya. Let it flow, biarkan terjadi apa adanya. Awalnya sayapun sempat berpikir seperti itu, namun setiap kali saya ingat akan hari di mana pacar saya mengecewakan saya, hati saya kembali sakit. Sampai akhirnya saya ingat bahwa manusia dianugerahi freewill, kehendak bebas. Bahwa sebetulnya, saya bisa memilih. Saya bisa membuat keputusan lain, bukan sekedar mengikuti alur saja. Juga seperti yang Jim Rohn bilang, "If you don't like things are, change it! You are not a tree!". Maka dengan penuh keyakinan, saya memberanikan diri untuk membatalkan semua rencana pernikahan kami.


Semudah itukah? Jelas nggak! Bagian tersulit adalah bertanggung jawab atas keputusan yang telah dibuat. Bagaimana bertanggung jawab atas banyaknya hati yang tersakiti, hati saya, pacar, orang tua kami, orang-orang terdekat kami. Belum lagi jika bicara tentang vendor-vendor yang telah kami booking. Saya harus membatalkan dan merelakan sejumlah uang yang sudah keluar. Bulan-bulan itu saya lewati dengan rasa malu yang tiada tara. Menghindar dari orang lain hanya karena takut dan malas dengan pertanyaan seputar batalnya pernikahan.

Belum selesai di situ, sebagai seseorang yang pernah mempelajari ilmu psikologi, saya cukup bisa merasakan bahwa ada yang salah dengan diri ini. Saya mendadak insecure, punya masalah kepercayaan, meragukan perkataan orang. Sempat berkonsultasi dengan sahabat saya yang seorang psikolog Belanda, ia bilang kalau saya mengalami trauma akibat kejadian kemarin. Trauma karena dikecewakan oleh orang yang saya percaya selama 7 tahun. Akibatnya, saya kesulitan untuk menjalin hubungan baru dengan orang lain, yang ternyata menjadi masalah baru bagi saya.

Satu dua pria sempat datang, ketakutan itu selalu muncul. Pemikiran bahwa "orang yang dipercaya selama 7 tahun saja bisa mengecewakan, jadi saya butuh berapa tahun untuk percaya?" selalu terlintas. Sampai akhirnya K datang. Saya mengenalnya hanya beberapa bulan, lewat sepupu. Kami belum pernah bertemu, karena ia belum sempat ke Bandung. Jadi komunikasi kami hanya sebatas chatting dan telponan. Sempat beberapa kali memanggilnya "Kang", dia cuma ketawa geli. "Beda setahun doang, kaya anak ospek aja". Saya bukan termasuk perempuan yang peka dengan hal-hal yang berbau afeksi, tapi untuk perempuan seperempat abad, saya cukup bisa membaca tujuan seorang pria yang begitu intens berkomunikasi dengan perempuan, mengirim makan siang, memberikan bunga. Hal-hal semacam itulah.

K bukan tipe yang banyak bicara, bukan tipe yang senang berbalas pesan juga. Jarang berjanji, tapi jika ia melakukannya, ia menepatinya. Pria ini cukup aneh, bagi saya. Ia adalah pria pertama yang berani menemui Ayah sendirian, bahkan saat itu saya sendiri belum pernah bertemu dengannya. Kok bisa? Jadi suatu kali saya berbasa basi tentang betapa saya sukanya dengan pempek, dan akan sangat senang jika ia bisa membawakannya dari Palembang. Beberapa hari setelahnya, siang hari, saat saya masih di kantor, saya dikejutkan oleh pesan dari Ayah, "Ada teman Anis ke rumah ngasih pempek. Katanya teman Teh Echa juga". Ya, itu adalah pertama kali Ayah bertemu K, padahal saya sendiri belum pernah bertemu dengannya. Kesan pertama yang positif, bagi saya dan tentunya bagi Ayah juga.

Beberapa kali saya cerita dengan rekan kerja, keluarga, dan sahabat-sahabat saya tentang K, saya selalu menyelipkan pesan  bahwa K hanyalah sekedar teman saja, gak lebih. Lagipula, dia seorang auditor dengan wilayah kerja yang tak menentu. Sempat di Jakarta, Jombang, Palembang, dan kota-kota lainnya. Jika saya menikah dengannya, berarti saya harus ikut pindah-pindah kota dengannya, yang sulit diterima bagi saya. Saya termasuk anak rumahan, keluar kota hanya sesekali untuk perjalanan dinas dan gak pernah lebih dari sebulan. Intinya, memikirkan keluar dari Bandung, adalah sebuah hal mustahil bagi saya.

Satu hal yang menarik perhatian saya, K adalah pendengar yang baik. Tenang dan tidak tergesa-gesa adalah deskripsi yang tepat tentang pembawaannya. Ia bisa membaca kekhawatiran yang saya rasakan tentang menjalin hubungan baru. Oh, dia juga mendengarkan kisah pahit itu, dan tak sekalipun memberi intervensi, apalagi berkomentar negatif tentang mantan saya. Bahkan, dia sempat bilang bahwa betapa good looking dan pintarnya mantan saya, "Kalau aku cewek, mungkin aku juga bakal suka."
Saya tertawa, dia juga.

Sampai akhirnya 3 bulan berlalu. Ya, hanya berkisar 3 bulan, dia mengajak saya ke suatu tempat, ada yang ingin ia sampaikan. Itu adalah malam saat K melamar saya. Saya gak terlalu terkejut, karena dia memang pernah bilang kalau tujuannya mendekati saya adalah karena ia ingin saya menjadi pendamping hidupnya, tapi ia bilang kalau semuanya santai. Saya bisa menjawab kapanpun saya mau, kapanpun saya siap. Anehnya, pikiran-pikiran, kecemasan dan ketakutan saya tentang masa lalu itu, sama sekali gak terlintas. Anehnya, saya bisa menjawab saat itu juga. Anehnya, saya bisa seyakin itu. Padahal dengan saya mengiyakan, berarti saya sudah setuju tentang meninggalkan Bandung untuk waktu yang lama.


"Stop thinking, start living", kata-kata itu terus menerus terngiang di kepala saya.  Itu adalah keputusan besar lainnya, yang akhirnya membawa saya ke sini. Ya, sekarang saya sedang di Lampung dan sedang mengemas barang untuk pergi ke destinasi selanjutnya. Betul, saya merindukan Bandung, tapi di sini saya menemukan banyak hal baru. Bahkan saya merasa bisa lebih mengenal diri saya sendiri. Semuanya terasa asing, tapi juga seru dan menyenangkan. Lagipula, bukankah hidup baru dimulai saat kita keluar dari zona nyaman?

Sebelum selesai, ada satu hal ajaib yang ingin saya ceritakan. Saya selalu bercerita pada banyak orang bahwa K mengingatkan saya dengan Ayah, kakak, dan adik saya. Tipe pria yang tidak banyak bicara, pendengar yang baik, dan berpikiran matang. Mereka bilang, K adalah sosok yang saya butuhkan selama ini. Betul-betul tipe pria yang dapat diandalkan. Mereka juga bilang kalau Tuhan memang selalu memberi yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan? Tapi hey, saya ternyata lupa, jauh sebelum kisah ini terjadi, saya sering meminta padaNya, untuk dipilihkan pasangan hidup, yang menyerupai kepribadian Ayah, kakak, dan adik. Jadi, kalau ini adalah semacam jawaban dari do'a saya bertahun-tahun yang lalu, Terima kasih Tuhan, sudah menjadi pendengar dan pengabul yang baik. Saya pikir, Ia memang selalu baik dan adil.

13 comments:

  1. Ko aku merinding bacanya, tapi setuju banget sama bagian "Allah itu memberikan yang kita butuhkan" Btw, selamat yaa~

    ReplyDelete
  2. Bikin semangat bgt ceritanya teteh :)

    ReplyDelete
  3. terharu aku bacanya, sempet juga di posisi hilang kepercayaan, dan kesulitan membangun hubungan, tapi kl ketemu orang yang klik memang beda rasanya.

    ReplyDelete
  4. Teh, aku selalu suka baca tulisanmu.Aseli.
    Semoga bisa dikasih kesempatan ketemu ya suatu saat nanti:) sepertinya bakal nyambung kalau ngobrol.

    Btw, aku terharu bacanya:" jadi baper..Aku lg dlm sebuah hubungan yang sangat tenang dan nyaman buat kami, tapi banyak tantangan dari orang diluar kami. Aku gak tau akan berakhir seperti apa, tapi aku yakin apapun yg Allah kasih itu yg terbaik:)

    Barakallah teeh, semoga pernikahnnya selalu diberkahi aamiin

    ReplyDelete
  5. K keren bangetttt...berani ke rumah sendirian padahal ketemu calonnya aja belum pernah..

    ReplyDelete
  6. I love the way you tell your story nis. Setiap mampir ke blog anis pasti penasaran kali ini ceritanya gimana. Dan kali ini bs tahu secuplik kisah gimana kuatnya seorang anis. Aku amaze. Thank you for sharing you are amazing ♥️

    ReplyDelete
  7. baca ini, aku melihat sisi anis yang lain. semangat anis, semoga kehidupan selanjutnya selalu menyenangkan :)

    ReplyDelete
  8. Amazing ya teh, ceritanya bikin Lae terbaru. InsyaAllah selalu Ada hal baik di setiap keputusan, keep strong 😄

    ReplyDelete
  9. Samaaa bangedd aq juga ketemu Suamj hanya dalam hitungan minggu udh klik banged ama dia, pdhl baru ktemu 😅

    ReplyDelete
  10. Baper aku bacanya.. Jadi inget dulu suami juga ujug2 datang ketemu ortu, kebetulan aku juga agi di kantor, trus di telepon ibu. Alhamdulillah, ikut seneng bacanya, akhirnya teteh menemukan orang yang tepat..

    ReplyDelete
  11. teteh, perjalanan cintanya luar biasa. Kekuatan doa yang diolah melalui pikiran akan selalu kuat teh dan alhamdulillah Allah SWT mewujudkannya. barakallahu teh :)

    ReplyDelete
  12. Kok sama sih aku pun udahan sama si mantan yang udah bareng2 selama 7 tahun. Bedanya aku gao nolak, karna LDR dia jd move on duluan tanpa aku tahu. Menyakitkan saat itu. Tapi yang Allah beri setelah datang kesakita pasti kebahagiaan bukan. Bahagianya aku bertemu suamiku. Begitupun kamu. Iyakan? Hehe

    ReplyDelete
  13. Betul, Tuhan itu selalu baik dan adil. Tuhan adalah sebaik-baiknya perencana.

    ReplyDelete