Tuesday 16 October 2018

, ,

Mana yang Lebih Dulu? Menikah atau Bahagia?

Plato bilang, love is a serious mental illness. Lucu rasanya menganggap apa yang dibilang Plato ini bisa jadi benar. Kalian pasti gak asing dengan istilah toxic relationship? Ya, suatu hubungan yang malah menjadi "racun" bagi hidup kamu. Bukannya bahagia, malah sengsara yang dirasakan. Tiba-tiba saya teringat tentang kisah sahabat saya (sebutlah Bambang) yang terjebak dalam toxic relationship, dan sampai sekarang tetap tidak bisa menyelesaikan hubungan mereka. Bambang terlalu sayang akan pacarnya, bahkan sudah berencana untuk melamarnya, tapi di sisi lain, ia juga sadar bahwa hubungan dengan pacarnya sudah tidak sehat.

"Never in my whole life anyone cared about me as she does. But at the same time, I've never had a relationship where I was crying so often, or literally punching walls. I've lost parts of my personality that I liked, I don't recognize myself anymore." curhat Bambang suatu hari.

Walaupun saya pernah mendalami psikologi, memberikan tips move on atau menghadapi masalah-masalah percintaan bukanlah keahlian saya. Tanyalah sahabat-sahabat saya, yang tau betul kelakuan saya kalau habis putus cinta. Maka sekarang, saat menulis artikel ini, sebutlah saya hanya jago teori saja, karena bisa jadi betul, tapi bisa jadi juga saya sudah berhasil prakteknya. Hehe.

Sekali waktu, saya pernah dengar, bahwa sebaik-baiknya mencintai, adalah yang membawamu menjadi lebih baik. Setelah saya mengingat-ingat apa yang terjadi di dalam hidup saya, saya menyimpulkan bahwa selama ini saya sudah mencintai sebaik mungkin. Bukan berarti hubungan yang saya jalani selalu indah dan berakhir baik, rasanya terlalu muluk-muluk untuk berharap yang seperti itu. Tapi saya selalu yakin bahwa menjadi dewasa membuat saya lebih adil dalam menyikapi masa lalu. Saya paham betul, banyak sakit hati yang dilewati di kehidupan saya, tapi juga ada banyak pelajaran yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika saya tidak melalui ini semua.

Dimulai pada saat saya SD, walaupun sekedar cinta monyet, bukan berarti cintanya asal-asalan kan? Sebutlah Raja, seorang anak laki-laki yang duduk dekat dengan saya. Anaknya nakal, usil, dan sering ganggu dan ngatain saya 'jelek'. Lalu kenapa saya bisa naksir? Oh, tentu, karena dia ganteng. Usia saya 8 tahun, siapa peduli kalau dia nakal.

Suatu kali, si Raja ini nemu secarik kertas di kolong bangku, gambar seorang perempuan. Hanya gambar kepalanya, tapi siapapun yang liat pasti tau kalau si penggambar memang punya bakat menggambar. Si Raja cinta banget sama gambarnya, "keren pisan euy", katanya. Setelah itu, selama berhari-hari, Raja selalu menyimpan kertas itu di dalam tasnya dan dijaga layaknya harta karun.

Beberapa hari kemudian, gak sengaja Raja menyimpan kertas itu di atas meja. Lalu Nanda, anak perempuan di kelas saya yang sering juga usil, mengambil dan seketika langsung merobek kertas itu. Sampai sekarang saya juga gak tau motifnya apa, tapi gosipnya sih si Nanda ini emang suka sama si Raja dan merasa cemburu dengan kertas bergambar perempuan itu (does it even make a sense?). Si Raja ngamuk, sebisa mungkin dia kumpulin sobekkan kertasnya dan dilem pakai selotip. Tapi tetap, berhari-hari setelahnya Raja masih kelihatan bete, gak pernah lagi ganggu-ganggu saya, tapi anehnya saya malah gak suka liatnya.

Setelah itu saya bilang ke Raja, "Ja, aku pinjam gambarnya boleh?"
Raja heran, tapi dia balas dengan sewot, "Buat apa?"
"Aku mau coba gambar ulang.".

Setiap hari saya belajar membuat sketsa. Berusaha gimana caranya agar tiap garis wajah si perempuan ini sama persis. Seminggu kemudian saya kembalikan kertasnya, beserta gambar tiruan yang saya buat. Gambarnya memang gak sama persis, tapi lumayan bikin Raja bingung menyangka kertas yang disobek berhasil disatukan kembali.

Cerita di atas adalah sepenggal cerita asal mula saya senang melukis. Dimulai dari cinta monyet biasa yang gak berujung apa-apa. Sebetulnya beberapa saat kemudian Raja menelepon. Bukan hal aneh, karena dia memang rutin bertanya tentang PR. Tapi hari itu, sebelum menutup teleponnya, "I love you", katanya. Saya merinding, takut. Besoknya saya benar-benar menghindar dari Raja. Alasannya? Tentu karena saya masih bocah ingusan, gak tau harus merespon seperti apa.

Tidak hanya itu. Setelah cinta semasa SD membuat saya menjadi senang melukis, selanjutnya cinta di  SMP membuat saya senang membaca, karena 'dia yang saya taksir' hobinya nongkrong di tempat rental buku dekat sekolah. Yang awalnya koleksi buku saya hanya sebatas komik conan dan kungfu komang, setelah mengenalnya koleksi saya mulai merambah ke novel-novel Sidney Sheldon dan Sandra Brown, yang pada saat itu belum umum di kalangan anak SMP. Selain itu, ada cinta saya selanjutnya membuat saya senang belajar Bahasa Inggris, ada yang membuat saya menjadi senang bermain gitar, lalu setelahnya ada juga yang membuat saya menjadi senang menulis. 

Perjalanan cinta saya sebelum menikah memberi pelajaran bahwa perjalanan mencintai seseorang tidak harus selalu berakhir indah. Tapi pastikan perjalanannya sendiri yang memang indah. Saya menikmati dan banyak belajar dari pengalaman-pengalaman di atas. Tiap pengalaman yang saya lewati, tentu menyumbang sesuatu pada hidup saya, yang punya andil dalam keutuhan saya saat ini.

Saya sering dengar, mungkin kalian juga, tentang mencari pasangan yang tepat untuk dinikahi, yang dapat melengkapi diri kita. Seiring bertambah usia, saya mulai sadar kalau itu keliru. Menurut saya kutipan itu lebih cocok untuk remaja-remaja yang sedang cari pacar, bukan untuk menikah. Sangatlah ceroboh untuk menggantungkan nasib kita di tangan orang lain, termasuk orang yang kita cintai. Mencari pasangan jelas berbeda dengan mencari pengasuh. Kalau kamu orangnya suka makan, tidak perlu cari pasangan yang jago masak. Kenapa tidak kamu sendiri yang belajar masak? Kalau kamu orangnya pemarah, tidak perlu cari pasangan yang sabar. Bukankah lebih baik jika kamu yang menjadi sabar?

Kalau mencari pasangan hanya untuk sekedar saling melengkapi, lalu apa jadinya ketika salah satunya tidak ada? Apa kamu hanya akan menjadi kamu "yang setengah"? Sahabat saya, Irsa, sekali waktu bilang, "Yang namanya menikah, harus menguntungkan bagi kedua pihak. 1+1=2. Kalau 1+1 tetep 1, atau malah jadi 0, ngapain ngaririweuh (ngerepotin) diri sendiri?".

Kalau kalian pernah menyimak interview Kelly Clarkson di salah satu acara talkshow, ia sempat berbicara tentang pernikahannya seperti ini, "I was doing this interview and the lady was like 'oh so you found your other half' and I was like "No, I was like I got a whole person'". "I'm just a whole being and he's whole and we make a great team.". Ini yang saya sebut 1+1= 2.

Jadi pada akhirnya, tujuan menikah, bukan sebagai syarat bahagia. Menikah bukan untuk menjadi bahagia, tapi bertambah bahagianya. Bukan menjadi dewasa, tapi bertambah dewasanya. Jadi saran saya sebelum kamu memutuskan menikah, ada baiknya pastikan kembali, apakah kamu sudah bahagia? Apakah kamu sudah menjadi 1? Atau baru 1/2? Atau bahkan 0? Oh tentu angka 1 ini subjektif, bagaimana penilaian terhadap dirimu sendiri. Ingat ya, saya gak bilang kalau kamu harus pinter masak, gambar, jahit, berenang, menari, menyanyi, dan segalanya sebelum kamu memutuskan untuk menikah. After all, we will never be perfect, aren't we? 


21 comments:

  1. nikah bisa bikin bahagia ko, percaya deh :)

    ReplyDelete
  2. Kalo menurut aku memutuskan untuk menikah itu jangan diawali dengan banyak ekspektasi pada si calon pasangan, karena kalo sekalinya beda sama realita justru jadi membawa ketidak bahagiaan hehe

    ReplyDelete
  3. aku belum tau nih rasanya setelah menikah kayak gimana, tapi aku setuju banget kalo gak perlu sempurna untuk bisa menikah, yang penting kita tau kalo kita bakalan bahagia setelah menikah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asal jangan jadikan menikah sebagai syarat untuk bahagia 👍👍

      Delete
  4. NIkah dulu, bahagia kemudian hihi, saya dulu nikah muda alhamdulillah bahagia sih

    ReplyDelete
  5. Salah fokus sama bambang yang katanya cryin often. Jadi pengen nge puk puk Bambang :D
    (maaf banget nih komenya gabisa serius)

    ReplyDelete
  6. Karena saat ini belum menikah, aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk membahagiakan diri sendiri. Aku juga setuju dengan "jangan jadikan menikah sebagai syarat untuk bahagia" karena setiap orang punya masanya sendiri hehe Tapi insya allah bahagia kok :))

    ReplyDelete
  7. Wah ini mantuulll. Ku speechless, sampe bingung mau komen apa 😂 *serius*

    ReplyDelete
  8. Sebelum nikah bahagia, setelah nikah makin bahagia... Aamiin

    ReplyDelete
  9. Menikah bikin hidup lebih bahagia.. :)

    ReplyDelete
  10. coudn't be more agree. Setelah baca ini aku juga jadi diingatkan, kalau perjalanan cintaku yang berliku juga begitu berwarna dan yang paling penting menjadikan apa aku sekarang. dan menikah itu ketika 2 orang yang sama-sama penuh, bertemu. make sense.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah sudah bahagia dan ingin segera menambah kebahagiaan itu :)

    ReplyDelete
  12. InsyaAllah udah nikah dan selalu dilimpahkan kebahagiaan Teh aamiiin

    ReplyDelete
  13. Definisi dan spesifikasi bahagia buat masing2 pasti berbeda. Yang penting selalu bersyukur ;)

    ReplyDelete
  14. menikah kan membuat bahagia teh

    ReplyDelete
  15. InsyaAllah kalo udah nikah selalu dilimpahkan kebahagiaan aamiiin

    ReplyDelete
  16. Baca ini berasa jadi ter-riminder bahwa everything happens for a reason itu bener banget ya teh. Suka tulisannya teh

    ReplyDelete
  17. Ume belum menikah, tp alhmdulillah ume sudah merasakan kebahagian yg di kasih orang2 sekitar nikmat yg ada itu pun suatu kebahagiaan dan insyaallah semoga setelah menikah pun bisa mendapatkan kebahagiaan yg lebih lg. Amin

    ReplyDelete